Saturday, October 21, 2006

Lebaran

Lebaran…
Makhluk apakah gerangan?
Aku mencari-cari maknanya
Mencari hakikatnya
Entah sudah kutemukan atau belum

Kabarnya
Lebaran adalah momen manusia mendapat kemenangan
Kemenangan atas siapa?

Katanya
Lebaran adalah momen kembali menemukan kasih sayang
Kasih sayang dari siapa?

Sering dibilang
Lebaran adalah momen untuk bermaaf-maafan
Bermaaf-maafan atas dan kepada siapa?
Bukankah aku sering melakukannya?

Lebaran...
Di mana aku bisa menemukan ketiganya?

Kalau lebaran ini kemenangan...
Sepertinya aku masih saja selalu kalah
Dari orang lain saja aku selalu kalah
Apalagi dari diri sendiri
Bagaimana aku menyatakan menang kali ini?
Bagaimana mungkin aku berlebaran?

Kalau dihari lebaran ada pulang kampung
Proses untuk menemukan kembali kasih sayang
Kapan aku bisa menemukannya?
Di hari ini justru saudara-saudaraku yang jadi tuan rumah
Malah tambah terasing dari rumah psikologis dan budayanya sendiri
Tergusur oleh buldoser kebudayaan kami yang datang dari kota
Oleh traktor keberadaan level kami
Yang mereka pandang lebih tinggi
Sehingga mereka rikuh untuk “berbahagia” bersama kami
Sebab mereka tidak menemukan siapa dirinya di tengah-tengah kami
Mereka lebih memilih hijrah ke komunitas-komunitas kulturalnya
Memilih bersunyi dalam kesendirian jati dirinya
Sementara kamipun kewalahan untuk sekadar mengulurkan tangan kasih kami
Meski kami ingin

Kalau lebaran...
Sekadar berkata: "maafin aku ya..."
Tanpa pernah tahu apa kesalahan kita masing-masing
Tanpa tahu mengapa kita harus saling memaafkan
Tanpa ruh
Tanpa jiwa
Tak berbobot
Sehingga begitu gampang diucap dan begitu gampang dikhianati
Tidak bisakah kita lakukah itu di luar lebaran?
Ah, tapi mungkin itu hanya kasus diriku saja


Lebaran...

Semuanya jadi serba pseudo
Serba nanggung

Tapi...
Kalaulah bukan karena seorang tua
Yang mesti aku khidmat kepadanya

Yang menjadi 'Arsy kasih sayangku
Kalaulah bukan karena kerinduan menemukan kebahagiaan
Di sesaknya ketidakmampuan orang-orang pinggiran
Tak kan kulakukan ritual tahunan ini: Mudik!

Kalaulah bukan karena anjuran Junjungan Agung
Tak kan kukatakan:
Taqabbalallaahu minna wa minkum
Shiaamanaa wa shiaamakum
Taqabbal ya kariim
Minal ‘aadin wal faaiziin
Fii kulli ‘aamin wa antum bikhair

Kalaulah bukan karena rahmat-Nya
Tak sanggup aku berkata:
Semoga kita semua diterima-Nya

Semoga kita semua bisa “kembali”
Semoga engkau semua terawat dalam kebajikan setelah ini

Kalau di hari lebaran saja kita tak bisa saling memaafkan
Apatah lagi di hari yang lain...

px

Sunday, October 15, 2006

Mbah Surip dan Mbak Bertha

Mungkin karena sudah lama tidak pernah ketemu, atau malah ga pernah ketemu secara langsung sama sekali, acara Cak Nun plus Kiai Kanjeng (CNKK) di Jakarta yang berlangsung dua malam berturut-turut di dua tempat berbeda, saya bela-belain untuk menghadirinya. Meskipun dua-duanya berakhir jam 3-an pagi atau pas waktu sahur. Untung saja hari libur, jadi baru tidur selepas shubuh pun tak masalah. Wong ga kerja kok :p.

Acara Kenduri Cinta di TIM pada Jumat malam, dan Cinta Negeriku (sebenarnya pengajian) di Masjid Cut Mutia pada Sabtu malamnya. Sebenarnya apa yang disampaikan pada dua tempat itu oleh Cak Nun dan Kiai Kanjeng tidak jauh berbeda. Hanya saja karena lagi “kangen berat”, yang diulang-ulang pun tidak menjadi soal, malah jadi tambah hapal.

Yang sedikit membedakan adalah, Sabtu malam itu saya bisa menyaksikan Mbah Surip mendendangkan lagu dan Mbak Berta bisa bercerita sekelumit tentang dirinya. Seperti biasa dengan gayanya yang khas dan membawa kejenakaan, Mbah Surip (yang pernah tampil di SCTV) membawakan lagu “Bangun Tidur” dan “Tak Gendong”. Di sela-sela itu si mbah yang berambut gimbal ala Bob Marley itu tak henti-hentinya menebarkan senyum dan tawanya sambil menyampaikan salam khasnya: “I love you full, kha...kha...kha...” (mulutnya menganga lebar). Hanya dengan itu saja semua yang hadir dibuat terpingkal-pingkal. Dua lagu itu Mbah Surip bawakan bersama Mbak Bertha.

Siapakah mbah dan mbak yang dibawa CNKK itu? Kyai Mbeling, seperti tahu alam pikiran yang hadir, menjelaskan keberadaan dua orang tersebut, baik dalam acara tersebut maupun dalam alam yang lebih luas lagi: kehidupan ini. Seperti tahi lalat, Cak Nun bertanya pada jamaah apa arti keberadaannya bagi seseorang. “Apa sih guna dan fungsi tahi lalat pada tubuh manusia?” Kemudian saya rasa kebanyakan hadirin baru tersadar – termasuk saya – bahwa benda berwarna hitam-kecoklatan dengan bentuk kebanyakan lingkaran itu bisa menjadi pemanis wajah dari seseorang. Begitulah kira-kira keberadaan Mbah Surip dalam kehidupan ini – sosok yang jika hanya dilihat dari segi fisik saja kita akan menganggap dia sebagai orang yang aneh. Dengan rambut gimbalnya yang panjang dan kemana-mana membawa gitar, ditambah seringnya dia tertawa bak orang gila, pria kelahiran 1939 ini tidak akan jauh dari sangkaan semacam itu. Namun kita sering lupa bahwa keberadaan orang seperti beliau punya peran tersendiri dalam hidup ini: memaniskan hidup yang pahit ini.

Mbak Bertha bercerita tentang pria yang masih lajang ini. Dia pernah bertanya pada Mbah Surip. “Apa sih hidup itu Mbah?” Mbah Surip menjawab, katanya: dua hal. Pertama, mata bisa melek dan bangun, kemudian bisa tidur lagi. Kedua, asal ada gitar, itu berarti hidup. Sudah, itu saja! Menurut Mbak Bertha, Mbah Surip adalah orang yang punya “tempat tinggal” yang sebenarnya. Dia bisa tidur dimana saja dan kapan saja. Ketika Mbah Surip ingin pergi ke suatu tempat, dia tidak peduli apakah dengan kendaraan umum, ngojeg atau bahkan jalan kaki. Ketika dia ingin pergi maka pergilah dia. Tidak peduli apa yang akan membawanya. Mbak Bertha menandaskan, ringan sekali hidupnya. Menurut Cak Nun, si mbah yang satu ini, mau ada duit atau ga ada duit, ketawanya tetap sama: kha...kha...kha... dengan mulut yang terbuka lebar. Bagi suami Novia Kolopaking ini, sosok-sosok seperti mbah Surip inilah waliyullah (wali Allah). Mereka hadir kepada kita untuk menyindir kita yang sering menyangka bahwa keapesanlah yang terus-menerus hadir dalam hidup kita. Mereka menyindir kita karena kita baru bisa bahagia kalau sudah pake mobil, kalau sudah punya rumah, punya anak, pasangan, deposito, dan onderdil-onderdil duniawi lainnya. Untuk bahagia Mbah Surip hanya cukup dengan bisa melek dan tidur lagi, dan membawa gitar untuk berdendang. That’s it!

Adapun Mbak Bertha sendiri adalah seorang yang pernah sukses di balik sukses AFI Indosiar. Dialah sosok yang berada di belakang layar, yang bertugas melatih para kontestan yang akan berlaga. Namun kegelisahan mendera ketika dia tidak melihat “spirit” dalam hiburan yang dikemas dalam kerangkeng bernama industri. Tidak ada kreatifitas, tidak ada “jiwa”. Hanya seperti itu saja industri hiburan. Kemudian dia bertemu dengan orang-orang yang sekarang ada di sekelilingnya. Kiai Kanjeng, Mbah Surip, Cak Nun, Idris Sardi, dan sebagainya. Dia melihat Kiai Kanjeng yang “biasa” saja menyikapi musik. Musik diperlakukan sebagaimana musik, bukan sebagai media mencari untung. Dia bilang banyak belajar kepada grup musik ini. Terhadap Mbah Surip juga. Falsafah hidupnya yang sederhana justru memberikan makna hidup yang sebenarnya. Pun terhadap Cak Nun dan Idris Sardi.

Sekarang ini, selain menemani CNKK tour ke berbagai tempat di belahan dunia, Mbak Bertha juga aktif melatih anak-anak dalam bidang musik. Dia punya obsesi: kalau ada rejeki lebih, dia ingin membagikan CD gratis berisi lagu-lagu dari anak-anak yang sedang dibinanya. “Tagih saya!” katanya.

Sabtu malam itu Jakarta tidak sunyi. Di jalanan banyak anak muda bergerombol dengan kendaraan dan kebanggaan kelompoknya masing-masing. Saya tidak peduli dengan semua itu. Yang saya tahu, malam itu saya belajar banyak dari dua sosok tersebut.

Baarokallah...

px

Saturday, October 14, 2006

Kenduri Cinta

What can I say…
Setelah sekian lama
Jumat malam kemarin
Akhirnya saya bertemu lagi dengan alunan berbagai instrumen musik khas Kiai Kanjeng. Campuran antara gamelan dan alat musik modern seperti gitar dan sebagainya.
Kerinduan yang terobati
Saya dapati kembali musik yang membawa saya terbang ke level “trans”.
Begitu menyayat
Begitu kena
Meski bising tak terkira
Tapi itu hanya di telinga
Tidak di hati
Di sini justru rasa kecil yang muncul
Kesadaran tingkat tinggi

What else can I say...
Di sini saya menemukan cara dan gaya beragama saya
Di Kenduri Cinta ini
Alunan ayat suci tidak asing bagi siapapun
Tidak bagi yang funky
Yang ngepop
Yang awam
Yang ngejreng
Yang sensual
Yang rambutnya dicat
Yang kupingnya ditindik
Atau hidungnya
Yang sopan
Yang cantik
Yang biasa
Yang bersih
Yang dekil
Yang alim
Yang santun
Yang liberal
Yang radikal
Yang tradisionalis
Yang modernis
Yang theis
Yang atheis (mungkin)
Ayat suci itu menjadi tidak canggung untuk dikumandangkan
Di sini surat Ar-Rahman seperti menjadi milik bersama
Begitu familiar...
Dan di terima...
Rahmat bagi semesta tidak hanya menjadi jargon, tapi mewujud

What can I say again,
Di Kenduri Cinta
Ada Idris Sardi dengan magic biolanya
Ada mbah Surip yang tidak sempat saya tonton karena terlambat
Ada Adi Masardi yang bekas jubir kepresidenan
Ada Egi Sudjana yang Islam formalis (dia menyebut dirinya Islam fungsionalis)
Ada ustad Wijoyanto yang biasa nongol di Trans TV
Ada Gus Nuril yang terkenal dengan pasukan berani matinya
Ada kyai Budi
Ada Jose Rizal dengan lantunan puisi-puisi
Dan tentu saja Cak Nun sebagai “supir” dari acara ini

Mereka juga menjadi biasa-biasa saja
Tidak menjadi “sangar” lagi Egi Sudjana dengan jargon-jargon fundamentalismenya, meski di sana dia berkoar-koar dengan jargon-jargon itu
Tidak menjadi “kejawen” lagi itu Idris Sardi yang selalu menisbatkan bakat, kapasitas, dan kemampuannya sebagai karunia dari Allah. Apa-apa menjadi: “Kuasa Allah,” dia intens berkata.
Tidak terlihat lagi keustadan Wijoyanto saat diminta memberi wejangan, malah banyolan (yang super konyol menurut saya) yang dia berikan. Semua tergelak mendengar banyolannya.
Tidak terlihat lagi kesan “sok jago” dari sosok Gus Nuril sebagai seorang yang pernah memimpin sepasukan yang berani mati demi Gus Dur, saat dia memberi taushiah-taushiah berartinya.
Tidak ada jarak dengan Adi Masardi
Kyai Budi pun yang terkesan ndeso malah menyajikan sesuatu yang kosmopolit.
Jose Rizal...., dia memang seorang penyair.
Adapun Cak Nun, tugasnya memang hanya sebagai supir.

Di Kenduri Cinta ini
Ada sholawatan
Ada musik punk
Ada Tomblok Ati (bukan Tombo Ati)
Ada dangdut
Ada “When You Tell Me That You Love Me”
Ada lagu “Tanah Air”
Ada “Es Lilin”
Ada wirid-wirid ala para sufi
Semuanya hadir
dan bisa diterima oleh semua


Di Kenduri Cinta ini
Ada gugatan
Ada sanggahan
Ada makian
Namun ada juga nasehat
Bimbingan
Lecutan dan kesadaran
Dan sikap tahu diri

Di Kenduri Cinta ini
Ada sebuah fenomena...
Pernahkah kau saksikan
Sebuah pegelaran, acara, show
Yang berlangsung mulai dari jam 8 malam sampai jam 3 pagi
Dengan penonton yang relatif tetap setia sampai akhir acara
Sementara tidak ada pungutan biaya apapun
Non stop
Di tempat ala kadarnya
Dengan setting suasana yang sederhana?

Saya tidak pernah menyaksikan sebelumnya.

Di Kenduri Cinta ini
Ada obrolan politik
Ada soal ekonomi, bencana
Ada spirit
Ada sastra
Ada tafsir teologi
Ada kearifan
Ada banyolan-banyolan yang menyelingi
Ada hasrat untuk bergerak
Dan yang pasti ada CINTA...
Entah kenapa
Aku begitu merasakannya

Orang-orang yang aku cintai
Orang-orang yang pernah aku cintai
Orang yang sedang kutunggu cintanya
Pihak-pihak yang mestinya paling aku cintai di atas segalanya
Hadir dalam rasa ini
Berkelebat dalam khayal
Menari-menari dalam nalar
Menggema dalam sadar

Finally, I can say...
Aku merasakan cinta malam itu
Sebenar-benar cinta...
Dan tak terdefinisikan!

px

Friday, October 13, 2006

Memaknai Kematian

Buku ini berbeda dengan buku yang lain. Saya pernah membaca buku/tulisan dengan tema yang sama, namun kebanyakan dengan cara penyampaian yang “menyeramkan” dan “mengancam”. Dalam buku-buku tersebut selalu terasa, kematian adalah sesuatu yang menakutkan. Mulai dari prosesnya sampai setelahnya. Alam kubur begitu seram kita bayangkan dengan serangkaian siksanya. Apalagi di akhirat kelak. Hal ini menjadikan pembacanya – setidaknya saya – sering resah dengan sosok bernama kematian. Orang kemudian merasa takut akannya.

Namun tidak dengan buku ini. Bagi saya buku ini memberikan cara lain dalam penyampaian tentang apa itu kematian sekaligus menyajikan perspektif lain dalam memandang kematian. Dengan cara yang berbeda ini, kematian menjadi sesuatu yang tidak menakutkan bagi siapapun, dan perspektifnya yang baru memberi cara pandang berbeda tentang kematian itu sendiri.

Dalam buku ini kematian diibaratkan dengan kamar mandi atau sejenisnya. Tempat menyucikan diri dari kotoran-kotoran yang melekat pada tubuh kita. Karena itu adalah tempat untuk membersihkan, buat apa kemudian kita takut? Salah satu contohnya adalah seperti cerita/riwayat yang mengawali buku ini: Dahulu pada masa Ali Al-Hadi, cucu Rasulullah yang kesembilan. Suatu hari Ali Al-Hadi mengunjungi orang yang sakit parah. Orang yang sakit itu takut luar biasa menghadapi kematian. Wajahnya resah gelisah, sama sekali tak tampak kedamaian. “Wahai hamba Allah, kamu takut kematian karena kamu tidak memahami arti kematian. Sekarang katakan kepadaku, andaikan tubuhmu dilumuri kotoran, sehingga kamu merasa tidak enak dan merasakan kepedihan dalam seluruh tubuhmu. Lalu kamu membersihkannya di kamar mandi, sehingga kamu merasa bebas dari kotoran dan rasa sakit itu. Dalam kondisi demikian, apa yang hendak kamu lakukan: Ingin membersihkan diri dari kotoran-kotoran itu atau kamu enggan mandi dan senang dalam keadaan kotor?” Orang yang sakit itu menjawab, “Wahai cucu Rasulullah, saya lebih baik memilih mandi membersihkan diri.” Ali Al-Hadi berkata, “Ketahuilah, kematian sama dengan kamar mandi. Kematianmu adalah kesempatanmu yang terakhir untuk membersihkan kamu dari dosa-dosamu. Membersihkan kamu dari keburukan-keburukanmu. Jika kematian menjemputmu sekarang, tak meragukan lagi bahwa kematian itu akan membebaskanmu dari semua deritadan kepedihan serta akan memperoleh kebahagiaan yang abadi.”
Setelah mendengar perkataan Imam Al-Hadi itu, orang yang sakit tadi berubah cerah ceria, kedamaian tampak di wajahnya.kemudian dengan cara yang sangat indah, ia menyerahkan dirinya pada kematian, dengan penuh harapan akan akasih sayang Allah. Ia menutup matanya, karena telah melihat kebenaran dan segera menemui tempat tinggalnya yang abadi.

Membaca cerita ini, sekonyong-konyong dan begitu terasa, ada yang berbeda dalam diri ini. Saya termasuk orang yang “takut mati” tadinya. Namun membaca sepenggal riwayat ini, hilang semua ketakutan itu. Ada pemahaman baru tentang kematian dalam diri saya. Saya menemukan cara pandang baru melihat kematian.

Buku karangan Jalaluddin Rakhmat ini juga bercerita tentang siksa kubur dan pernik-pernik kematian lainnya. Namun bahasanya tidak “meneror”. Buku ini malah menggugah pembacanya untuk menyongsong kematian dengan kebahagiaan.
So, nice to read... :)

Judul buku: Memaknai Kematian
Penulis: KH Dr Jalaluddin Rakhmat
Penerbit: Iman
Cetakan: Pertama, 2006
Tebal: viii + 309 +iii hlm

px

Tuesday, October 10, 2006

Buku harian

Rumitnya seorang isteri, dan simplenya seorang suami


BUKU HARIAN ISTERI

Minggu Malam - Dia bertingkah aneh. Sebelumnya kami berjanji bertemu di
Cafe. Aku shopping seharian dg teman-teman, sehingga mungkin dia kesal
karena aku agak telat sampai di Cafe, tapi dia tak berkomentar.

Ngobrolnya nggak nyambung, jadi aku usul kita pergi ketempat yang agak
sepi
supaya ngobrolnya lebih enak, dia setuju tapi tetap diam dan berjarak. Aku
tanyakan
apa yang salah - dia jawab, "Tak ada". Aku tanyakan apakah kesalahan ku
yang membuatnya kesal. Dia bilang hal ini tak ada kaitannya dengan ku dan
minta aku
nggak usah khawatir.

Dalam perjalanan pulang, ku bilang aku mencintainya, dia cuma tersenyum
tipis dan tetap menyetir. Aku tak bisa menjelaskan perangainya sore itu.
Aku tak habis pikir kenapa dia tak menjawab, "aku cinta kamu juga".
Sesampainya dirumah, aku merasa kehilangan dia, dan seolah-olah dia tak
menghendaki ku lagi. Dia hanya duduk dan nonton depan TV; dia terlihat
jauh
dan menghilang.

Akhirnya aku putuskan untuk tidur. Sekitar 10 menit kemudian, dia menyusul
ke kamar. Aku nggak tahan lagi, kuputuskan untuk menghadapinya dan
menanyakan soal sebenarnya! tapi dia langsung tertidur. Aku mulai menangis
sampai tertidur. Aku tak tahu apa yang harus
ku lakukan. Aku yakin pikirannya sama cewek lain. Hidupku serasa kiamat...



BUKU HARIAN SUAMI
Hari ini Manchester United kalah. SIALAAAN....

Sumber: masih dari Anton Ojak...

Monday, October 09, 2006

If Tomorrow Never Comes.....

Segalanya berawal ketika saya masih berumur 6 tahun. Ketika saya sedang bermain di halaman rumah saya di California, saya bertemu seorang anak laki-laki. Dia seperti anak laki2 lainnya yang menggoda saya dan kemudian saya mengejarnya dan memukulnya. Setelah pertemuan pertama dimana saya memukulnya, kami selalu bertemu dan saling memukul satu sama lain di batas pagar itu. Tapi itu tidaklah lama. Kami selalu bertemu di pagar itu dan kami selalu bersama. Saya menceritakan semua rahasia saya. Dia sangat pendiam , dia hanya mendengarkan apa yg saya katakan.

Saya menganggap dia enak diajak bicara dan saya dapat berbicara kepadanya ttg apa saja.

Di sekolah, kami memiliki teman2 yang berbeda tapi ketika kami pulang ke rumah, kami selalu berbicara ttg apa yg terjadi di sekolah. Suatu hari, saya bercerita kepadanya ttg anak laki2 yang saya sukai tetapi telah menyakiti hati saya.. Dia menghibur saya dan mengatakan segalanya akan beres. Dia memberikan kata2 yang mendukung dan membantu saya utk melupakannya. Saya sangat bahagia dan menganggapnya sebagai teman sejati. Tetapi saya tahu bahwa sesungguhnya ada yg lain dari dirinya yg saya suka. Saya memikirkannya malam itu dan memutuskan kalau itu adalah rasa persahabatan. Selama SMA dan semasa kelulusan, kami selalu bersama dan tentu saja saya berpikir bahwa ini adalah persahabatan. Tetapi jauh di lubuk hati, saya tahu bahwa ada sesuatu yang lain. Pada malam kelulusan, meskipun kami memiliki pasangan sendiri2,
sesungguhnya saya menginginkan bahwa sayalah yg menjadi pasangannya.

Malam itu, setelah semua orang pulang, saya pergi ke rumahnya untuk mengatakannya. Malam itu adalah kesempatan terbesar yg saya miliki tapi saya hanya duduk di sana dan memandangi bintang bersamanya dan bercakap2 tentang cita2 kami. Saya melihat ke matanya dan mendengarkan ia bercerita ttg impiannya. Bagaimana dia ingin menikah dan sebagainya. Dia bercerita bagaimana dia ingin menjadi orang kaya dan sukses. Yg dapat saya lakukan hanya menceritakan impian saya dan duduk dekat dengan dia. Saya pulang ke rumah dengan terluka krn saya tidak mengatakan perasaan saya yg sebenarnya. Saya sangat ingin mengatakan bahwa saya sangat mencintainya tapi saya takut. Saya membiarkan perasaan itu pergi dan berkata kepada diri saya sendiri bahwa suatu hari saya akan mengatakan kepadanya mengenai perasaan saya.

Selama di universitas, saya ingin mengatakan kepadanya tetapi dia selalu bersama2 dengan seseorang. Setelah lulus, dia mendapatkan pekerjaan di New York. Saya sangat gembira untuknya, tapi pada saat yg sama saya sangat bersedih menyaksikan kepergiannya. Saya sedih karena saya menyadari ia pergi untuk pekerjaan besarnya. Jadi.. saya menyimpan perasaan saya utk diri saya sendiri dan melihatnya pergi dgn pesawat. Saya menangis ketika saya memeluknya krn saya merasa seperti ini adalah saat terakhir. Saya pulang ke rumah malam itu dan menangis. Saya merasa terluka karena saya tidak mengatakan apa yg ada di hati saya.

Saya memperoleh pekerjaan sbg sekretaris dan akhirnya menjadi seorg analis komputer. Saya sangat bangga dgn prestasi saya. Suatu hari saya menerima undangan pernikahan. Undangan itu darinya. Saya bahagia dan sedih pada saat yang bersamaan.

Sekarang saya tahu kalau saya tak akan pernah bersamanya dan kami hanya bisa menjadi teman. Saya pergi ke pesta pernikahan itu bulan berikutnya. Itu adalah peristiwa besar.

Saya bertemu dgn pengantin wanita dan tentu saja juga dengannya. Sekali lagi saya merasa jatuh cinta. Tapi saya bertahan agar tidak mengacaukan apa yg seharusnya menjadi hari paling bahagia bagi mereka. Saya mencoba bersenang2 malam itu, tapi sangat menyakitkn hati melihat dia begitu bahagia dan saya mencoba untuk bahagia menutupi air mata kesedihan yg ada di hati saya. Saya meninggalkan New York merasa bahwa saya telah melakukan hal yang tepat. Sebelum saya berangkat. . . tiba2 dia muncul dan mengucapkan salam perpisahan dan mengatakan betapa ia sangat bahagia bertemu dgn saya.

Saya pulang ke rumah dan mencoba melupakan semua yang terjadi di New York. Kehidupan saya terus berjalan. Tahun2 berlalu. . . kami saling menulis surat dan bercerita mengenai hal yg terjadi dan bagaimana dia merindukan utk berbicara dgn saya.

Pada suatu ketika, dia tak pernah lagi membalas surat saya. Saya sangat kuatir mengapa dia tidak membalas surat saya meskipun saya telah menulis 6 surat kepadanya.

Ketika semuanya seolah tiada harapan, tiba2 saya menerima sebuah catatan kecil mengatakan: "Temui saya di pagar dimana kita biasa bercakap2." Saya pergi ke sana dan melihatnya di sana. Saya sangat bahagia melihatnya, tetapi dia sedang patah hati dan bersedih. Kami berpelukan sampai kami kesulitan utk bernafas.

Kemudian ia menceritakan kepada saya ttg perceraian dan mengapa dia tidak pernah menulis surat kepada saya. Dia menangis sampai dia tidak dapat menangis lagi.. .. Akhirnya kami kembali ke rumah dan bercerita dan tertawa ttg apa yg telah saya lakukan mengisi waktu. Akan tetapi, saya tetap tidak dapat mengatakn kepadanya bagaimana perasaan saya yg sesungguhnya kepadanya.

Hari2 berikutnya. dia gembira dan melupakan semua masalah dan perceraiannya. Saya jatuh cinta lagi kepadanya. Ketika tiba saatnya dia kembali ke New York, saya menemuinya dan menangis. Saya benci melihatnya harus pergi. Dia berjanji untuk menemui saya setiap kali dia mendapat libur. Saya tak dapat menunggu saat dia datang shg saya dpt bersamanya. Kami selalu bergembira ketika sedang bersama.

Suatu hari dia tidak muncul sebagaimana yg telah dijanjikan. Saya berpikir bahwa mungkin dia sibuk. Hari berganti bulan dan saya melupakannya.

Suatu hari saya mendapat telepon dari New York. Pengacara mengatakan bahwa ia telah meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil dalam perjalanan ke airport. Hati saya patah. Saya sangat terkejut akan kejadian ini. Sekarang saya tahu... mengapa ia tidak muncul hari itu. Saya menangis semalam-malaman. Air mata kesedihan dan kepedihan; bertanya2 mengapa hal ini bisa terjadi terhadap seseorang yg begitu baik spt dia?

Saya mengumpulkan barang2 saya dan pergi ke New York utk pembacaan surat wasiatnya. Tentu saja semunya diberikan kepada keluargnya dan mantan istrinya. Akhirnya saya dapat bertemu dengan mantan istrinya lagi setelah saat terakhir kali saya bertemu pada pesta pernikahan. Dia menceritakan bagaimana mantan suaminya. Tapi suaminya selalu tampak tidak bahagia.

Apapun yang dia kerjakan.... tidak bisa membuat suaminya bahagia seperti saat pesta pernikahan mereka. Ketika surat wasiat dibacakan, satu2nya yg diberikan kepada saya adalah sebuah diary. Itu adalah diary kehidupannya. Saya menangis karena itu diberikan kepada saya. Saya tak dapat berpikir. mengapa ini diberikan pada saya?

Saya mengambilnya dan terbang kembali ke California. Ketika di pesawat, saya teringat saat2 indah yg kami miliki bersama. Saya mulai membaca diary itu. Diary dimulai ketika hari pertama kami berjumpa. Saya terus membaca sampai akhirnya saya mulai menangis. Diary itu bercerita bahwa dia jatuh cinta kepada saya di hari ketika saya patah hati.

Tapi dia takut utk mengatakannya kepada saya. Itulah sebabnya mengapa dia bagaimana dia ingin mengatakannya kepada saya berkali2, tetapi takut. Diary itu bercerita ketika di New York dan jatuh cinta dgn yg lain. Bagaimana dia begitu bahagia ketika bertemu dan berdansa dgn saya di hari pernikahannya. Dia menulis bahwa ia membayangkan kalau itu adalah pernikahan kami. Bagaimana dia selalu tidak bahagia sampai akhirnya harus menceraikan istrinya. Saat2 terindah dalam kehidupannya adalah ketika membaca huruf demi huruf yg saya tulis kepadanya.

Akhirnya diary itu berakhir dengan tulisan: "Hari ini saya akan mengatakan kepadaanya kalau saya mencintainya" Itu adalah hari dimana dia meninggal. Hari dimana pada akhirnya saya akan mengetahui apa yg sesungguhnya ada dlm hatinya.

Jika engkau mencintai seseorang, "JANGAN PERNAH MENUNGGU HARI ESOK UNTUK MENGATAKAN KEPADANYA"

Sumber: mail from Anton Ojak

Pantun Kacau

Jalan-jalan ke pinggir empang
nemu sendok dipinggir empang
hati siapa tak bimbang
situ botak minta dikepang

Buah kedondong Buah atep
Dulu bencong sekarang tetepp ............ ..

Ada padi, Ada jagung
Ada singkong, Ada pepaya
Panen ni yeeeeeeeeeeeee!

jauh di mata,dekat dihati
jauh di hati,dekat dimata
jauh-dekat SERIBU perak

ayam kurus bulunya banyak
rugi banget yang beli........ .

Buah semangka buah duren
Nggak nyangka gue keren

makan roti pake sambel
makan telor pake garem
kalo ogut lagi kesel
mata ogut suka merem

Buah semangka buah manggis
Nggak nyangka gue manis

Buah apel di air payau
Nggak level layauuuuuuu. ....

mancing ikan dikolam tetangga
manjat jambu di po'on tetangga
sungguh enak punya tetangga
maen-maen kerumah tetangga nyok!!!

Pohon kelapa, Pohon durian,
Pohon Cemara, Pohon Palem
Pohonnya tinggi-tinggi Bo!

Buah Nanas, Buah bengkoang
Buah jambu, Buah kedondong
Ngerujak dooooooooonggggggg. ..

Disini Gunung, Disana gunung
Banyak amat yah gunungnya...

Disini bingung, Disana linglung
Emangnya enak, engga nyambung....

Buah semangka berdaun sirih
Buah ajaib kali yah?????????

Kura-kura dalam perahu
Iseng banget tuch kuya...

Jalan kaki ke pasar baru
Jauh boooooooooooo. ...

Jambu merah di dinding
Jangan marah just kidding

disini anak, disana permen
anak nangis minta' permen

Nemu gesper, di pinggir jalan
kalo laper, makan tu gesper

Men sana in corpore sano
gue maen kesana,
elo maen ke sono!
hahaha....palelo ijo

disana gunung, disini gunung,
ditengah-tengah bunga melati
saya bingung kamu pun bingung
kenapa ada bunga melati ???!?

anak ayam turun ke bumi
induk ayam naik kelangit
anak ayam nyari kelangit
induk ayam nyungsep ke bumi

cari ayam di kandang macan
cari bebek di kolong kursi
jangan suka nungging-nungging
ntar disentil bebek usil

1,2,3, dan 4
lebaran makan ketupat
5, 6, 7, dan 8
ngggg....., 9, 10, 11, 12..
pantunnya udah lupa tuh..;0

Jalan-jalan ke kota paris
lihat rumah berbaris-baris
enak luh jalan jalan melulu

Sayur asem sayur sop
laper nich

Satu, dua, tiga
Empat, Lima, Enam
Tujuh, Delapan, Sembilan
Hebat udah bisa ngitung

banyak-banyak menabung
kagak nyambung

dilangit ada tomat
sengit amat

buah tomat buah tomat
saos tomat kali

bunga melati bunga mawar
bunga mawar bunga melati
aduh pantun norak sekali....

buah duren di pohon beringin
rese banget tuch duren....

sumber: mail from Anton Ojak (thanks bro!)

Friday, October 06, 2006

Dua film

Di minggu ini saya nonton dua film yang berkesan. Meskipun dua-duanya Hollywood punya, tapi tak apalah. Yang penting keduanya berkesan di hati. Yang pertama, Warm Spring; kedua, The Last Samurai.

Saya tak tahan ingin menuliskan kesan ini di blog. Warm Spring bercerita tentang perjuangan Franklin Roosevelt, satu-satunya presiden Amerika yang menjabat selama empat periode. Tidak banyak yang tahu ternyata, sebelum menjadi presiden dia sempat menderita polio yang membuatnya tak bisa berjalan. Saat itu polio adalah salah satu penyakit yang bisa menjadi aib bagi keluarga. Sebelum akhirnya terjun kembali dalam dunia politik, Roosevelt sempat membaktikan dirinya kepada mereka yang mengidap penyakit yang sama. Di sebuah desa di pinggiran Georgia, Warm Spring namanya, dia membeli sebidang tanah dengan uang warisan dari ibunya. Di sana dia mendirikan klinik terapi polio. Awalnya, idenya ditentang oleh orang-orang terdekatnya, terutama ibunya. Dia bersikeras dengan rencananya. Dan bersama dengan merekalah (penderita polio), Roosevelt merasa “hidup” kembali. Semangatnya untuk bisa berjalan lagi semakin menggebu. Apalagi setelah melihat seorang anak kecil yang ikut terapi di tempatnya, mampu berjalan lagi.

Warm Spring adalah sebuah desa yang sepi. Roosevelt sengaja mengunjungi dan tinggal desa ini karena satu hal: kolam renang mineral. Di kolam ini dia punya satu tujuan: melatih kakinya berjalan lagi. Setelah berkali-kali gagal, sedikit demi sedikit Roosevelt mampu melatih kakinya dan mampu berjalan beberapa langkah di air. Berkat seorang wartawan, kabar ini tersiar ke mana-mana. Banyak penderita polio berduyun-duyun mengunjungi kolam renang ini. Setelah mengkampanyekan metode terapinya yang cukup berhasil, cobaan datang kembali menguji Roosevelt. Seorang dokter menyatakan metode terapinya dinyatakan tidak aman. Menerima laporan yang demikian, shock-lah dia. Namun seorang terapisnya berhasil meyakinkan dia bahwa itu hanyalah pendapat dari seorang saja.

Dalam kondisi yang masih kewalahan dengan kemampuan berjalannya, Roosevelt tetap menjadi politisi yang disegani terutama dalam kemampuan speech-nya. Setelah diminta ikut mencalonkan Al Smith sebagai presiden dari partai demokrat, empat tahun kemudian Roosevelt dicalonkan dari partai yang sama dan berhasil menduduki kursi kepresidenan.

Adapun The Last Samurai adalah film yang sebenarnya sudah saya tonton sebelumnya. Entah mengapa, mata ini ingin tetap menontonnya. Satu hal yang menjadi pesan sekaligus kesan dari film ini adalah “kehormatan” (honour). Kehormatan dari seorang “Samurai”. Samurai dalam bahasa Jepang berarti “pelayan”. Tidak terlihat dari penampilannya yang sarat dengan aroma kekerasan, samurai sesungguhnya hadir sebagai pelayan bagi kaisar. Pemberontakan yang mereka lakukan sesungguhnya dalam kerangka melayani kaisar. Bagi mereka, kaisar saat itu menjadi boneka bagi kepentingan orang-orang sekelilingnya.

Bagi seorang samurai, kehormatan adalah segala-galanya. Dari sifat ini lahirlah kedisplinan, keteguhan memegang sikap, gentleman, dan keberanian. Mati sebagai seorang samurai bagi mereka adalah kehormatan. Hal ini menjadi dambaan mereka semua.

Dengan olahan gambar dan akting yang memikat dari para pemainnya, sesungguhnya film ini amat menggugah. Sayangnya, film ini “ternodai” oleh ending ala Hollywood yang suka dengan kebahagiaan, terutama bagi pemeran utamanya yang dalam hal ini adalah Tom Cruise.

px

Thursday, October 05, 2006

Doa (2)

Penulis favorit saya bercerita:
Pada zaman orde baru saya mendapat beasiswa dari presiden untuk belajar di Australia. Saya berangkat ke Australia, dengan bekal janji akan mendapatkan kiriman beasiswa. Tetapi, sampai sebulan di sana, beasiswa tak kunjung datang juga. Maka saya mulai rajin shalat malam saya membaca Al-Quran hampir setiap ba’da maghrib. Karena saya panik, esoknya saya juga berdoa. Bagaimana saya bisa hidup di luar negeri tanpa kiriman tersebut. Besoknya saya pergi ke bank mengecek uang itu. Saya mengecek efek doa itu. Ternyata rekening saya masih tetap seperti semula.

Akhirnya sudah sampai pada tahap yang gawat, saya menghubungi keluarga. Di rumah saya tinggalkan kendaraan. Tetapi ternyata dipinjam teman saya. Di jalan tol Cikampek ia mengalami kecelakaan lalu lintas. Mobil saya hancur sama sekali. Saya waktu itu berkata, “Tuhan, engkau ini bagaimana? Saya mohon bantuan-Mu, tetapi malah mobil yang telah Kau berikan, Kau ambil juga.” Seperti biasa kalau doa kita tidak dikabulkan, kita mesti bertanya-tanya dan protes. Lalu saya pikir, ini karena dosa-dosa. Dosa-dosa itulah yang menghambat sampainya doa kita kepada Allah. Kemudian saya mulai berpikir: Tapi siapa di dunia ini yang tidak berdosa? Bukankah hanya para Nabi yang dijamin tidak berdosa? Kita semua berdosa. Kalau doa menghalangi terkabulnya doa, kita tidak usah berdoa sajalah.

Kebetulan saya mengaji sampai pada surah Maryam, yang bercerita tentang Nabi Zakaria yang berdoa ingin punya anak. Dia berdoa sejak umur 20 tahunan setelah menikah, sampai usianya 80 tahun. Doanya tidak juga diijabah. Dan pada usia 80 tahun itu Nabi Zakarian berdoa begini: “Tuhanku, telah telah rapuh tulangku, telah penuh uban kepalaku. Tapi aku tidak putus asa berdoa kepada-Mu.” Membaca ayat itu saya tersentak. Nabi Zakaria seorang nabi yang tidak berdosa, tapi Tuhan tidak segera menyegerakan mengabulkan doanya. Saya baru berdoa beberapa minggu saja, sudah menggerutu seperti itu. Kebetulan Al-Quran yang saya baca ada tafsirnya (Tafsir Al-Muiin). Dibawahnya ada hadis-hadis yang menjelaskan ayat-ayat di atas. Salah satu yang menyentuh saya adalah hadis qudsi itu. Tuhan berkata kepada para malaikat: “Di sebelah sana ada seorang hamba-Ku yang fasik banyak berbuat dosa, berdoa kepada-Ku. Penuhi permintaannya dengan segera. Karena Aku sudah jera mendengar suaranya. Di tempat lain ada seorang hambaku yang saleh sedang berdoa kepada-Ku. Tangguhkan permintaannya. Karena aku senang mendengar rintihannya.”

Setelah membaca hadis itu, saya segera bersujud seraya berkata: “Tuhan, bila Engkau senang dengan rintihanku, terserah Engkau kapan saja Kau penuhi permintaanku.” Setelah itu baru aku tenang dan tidak mengecek-ngecek lagi ke bank. Tapi tak lama kemudian saya dapat juga kiriman beasiswa itu. Meskipun demikian, saya sudah pasrah. Asal Tuhan senang pada rintihan doa saya, tidak apa-apa.


“Tidak ada baiknya seorang manusia yang tak pernah sakit dan tak pernah hilang hartanya. Karena kalau Allah mencintai seorang hamba, maka diberi-Nya ujian dan kesabaran yang menghadapinya.” (Nabi saw)

Sumber: Memaknai Kematian by Jalaluddin Rakhmat

Tuesday, October 03, 2006

Mas Hadi

Kalau pulang kampung, Saya selalu menyempatkan diri mampir ke rumahnya untuk sekadar ngobrol. Beda lho ngobrol sama dia. Jika Saya bermukim selama beberapa hari, setiap malamnya tak bosan-bosannya Ane ngobrol ngalor ngidul dengannya. Entah mengapa bisa sebetah itu Saya bercengkerama dengannya. Padahal pendidikan formal yang pernah dienyamnya (mungkin) sekolah dasar saja. Itupun sepertinya tidak tamat akibat kecelakaan yang dialaminya sampai membuat matanya seperti sekarang ini.

Obrolan kami selalu punya banyak tema. Dari masalah fengshui sampai masalah politik global (wah gaya euy...). Meskipun dengan pengetahuan seadanya, namun pembicaraan kerap begitu hangat. Apalagi kalau sambil begadang, seperti tidak pernah putus pembicaraan sampai pagi hari.

Namanya Samsul Hadi. Saya biasa memanggilnya Mas Hadi. Usianya hampir 40 tahunan. Dengan keterbatasan yang ada pada matanya, hampir seluruh hidupnya dia habiskan di rumah. Pernah dia “dititipkan” di sebuah pesantren ilmu Quran di Jawa Tengah bagian timur sana, namun dia mengaku tidak betah. Hanya bertahan beberapa bulan, dia memilih “back to basic” di Tanjung-Brebes sana – sebuah kampung yang hampir serba “kering” dalam berbagai sisi kehidupannya. Dia juga mengaku tahu sebuah “padepokan” untuk kalangan yang memiliki keterbatasan seperti dirinya di Kota Bandung sana. Wiayata Guna namanya. Namun dia mengaku tidak tertarik untuk “mengembara” di tempat seperti itu. Pemeo yang sering dia lontarkan berkaitan dengan orang yang senasib dengannya adalah, “mau diajar dengan berbagai jenis ilmu apapun, pelatihan secanggih apapun, tetap saja “pelabuhan” bagi seorang tuna netra adalah tiga: kalau tidak jadi tukang pijat, ya pengamen; kalo tidak jadi pengamen ya jadi pengemis!" Statemen itu dia lontarkan sebenarnya dalam kerangka mengkritik kebijakan dan perhatian negara yang masih omdo (omong doank – pen) terhadap “kaumnya”.

Di kampung, Saya punya teman-teman yang lumayan tinggi status pendidikannya. Beberapa sarjana bahkan. Namun dari semuanya itu tidak ada yang bisa jadi teman ngobrol, diskusi, merenung, curhat, dan lain sebagainya; seenak, secocok, seklop kalo Saya ngobrol dengan dia.

Hal lain, dengannya Saya bisa ngobrol hampir semua hal. Seeemua hal! Seperti Saya intro di atas, dari mulai fengshui sampai politik global. Hanya berbekal informasi dari radio dan televisi dia bisa menguraikan rumus-rumus dalam fengshui dan menjelaskannya pada Saya. Di satu malam kadang kami “ngegosip” kelakuan pejabat negara kita yang jarang punya malu. Malam lain kami ngobrol soal lawan jenis kami (hehehe...:p). Malam yang lain lagi kami diskusi soal perbedaan mazhab, sekte dan lain-lain. Kadang-kadang juga campur aduk ga jelas, termasuk soal HAM. Yang paling Saya suka kalau dia sudah ngobrol soal weton (sebuah perhitungan nasib hidup seseorang dengan kaidah-kaidah kejawaan). Dia bisa menebak hari lahir Saya hanya dengan mengetahui tanggal lahir.

Namun demikian dia juga orang yang tidak sungkan bertanya jika merasa tidak tahu tentang sesuatu hal. Yang sering dia tanya kepada Saya adalah seputar bahasa Inggris. Padahal bahasa Inggris saya juga amburadul ;)). Sebaliknya, Saya lebih sering tanya sama dia seputar bahasa Arab.

Sehari-harinya dia selalu dekat dengan radio. Jika sedang di kamarnya, yang menemaninya adalah benda satu itu. Sebenarnya dari sini bisa ketahuan mengapa dia banyak tahu berbagai hal. Dari mulai radio kampung sampai BBC London, kerap dia dengarkan. Adiknya yang lulusan sebuah perguruan tinggi bonafit saja tidak sebanyak dia pengetahuannya. Yang membuatnya berbada adalah daya ingatnya yang begitu kuat. Sepertinya di situlah keadilan Tuhan. Disaat satu inderanya tidak berfungsi, Dia kuatkan indera lainnya dalam diri Mas Hadi.

Saya sering minta diajarin doa olehnya. Yang sampai sekarang sering Saya dawam-kan adalah: Ya Allah, karena-Mu-lah hamba bersedekah dan kepada-Mu-lah hamba memohon. Luaskan rezeki hamba, penuhi segala hajat hamba, dan mudahkan segala urusan hamba. “Kalau kamu sanggup, bersedekahlah setiap hari meski hanya dengan sebutir permen yang kau berikan pada ponakanmu, sambil membaca doa ini,” begitu pesannya yang masih melekat kuat di memori ini. Bagi Saya ini adalah doa yang “menyenangkan”. Entah mengapa, Saya merasa (beberapa) rezeki (yang tak terduga) yang saya peroleh sampai sekarang ini adalah berkah dari doa yang dia ajarkan.

Namun demikian bukan berarti tanpa cacat dan kekurangan “teman spesial” Saya itu. “Hadi juga manusia” :p. Semangatnya kurang terlihat kalau Saya perhatikan. Sering dia berkeluh kesah akan “nasibnya”, namun tidak tampak api kemauan dalam dirinya untuk berubah dan membalik garis hidupnya.

Satu hal yang saya prihatinkan darinya adalah tidak bisanya dia tidur malam. Dalam 24 jam sehari semalam, dia hanya mampu 3-4 jam tidur. Itupun saat siang sampai sore hari. Belum lagi dia termasuk perokok berat. Selepas itu hari-harinya dia habiskan dengan mendengar, bercakap, merenung, ikut begadang bareng anak kampung lain, memberi nasehat kepada orang lain, bertafakur, dan bermunajat, dan entah apa lainnya....

Alaa kulli haal, tentang teman, saudara (meski jauh, mungkin teramat jauh) sekaligus guru Saya itu, sebenarnya inginlah diri ini berkata: Saya suka membayangkan suatu hari bisa membawanya ke suatu tempat di mana kapasitas dan kemampuannya bisa teraktualisasi. Rasanya sayang melihat orang secerdas dan sepotensial dia harus hidup “in the wrong place” seperti di kampung Saya itu. Namun obsesi sepertinya masih jauh panggang dari api. Tapi apa iya tidak bisa?! Apa akan selalu berlaku pemeo yang kerap dia lontarkan tentang nasib orang seperti dirinya? Sejauh ini Saya baru bisa berangan dan berharap bisa melakukannya. Mudah-mudahan ruang ini juga bisa menjadi salah satu "wasilah" bagi perubahan untuknya. Adakah? Semoga....

px

"Sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi manusia lainnya" (Muhammad saw)

Monday, October 02, 2006

horrreeeee... Schumi menang!!!


Schumi Taklukan Alonso

Shanghai – Michael Schumacher berhasil menjuarai GP China, Minggu (1/10) sekaligus mengambil alih pimpinan klasemen dari Fernando Alonso yang finis di urutan kedua. Inilah gelar dan bahkan poin pertaman Schumi di sirkuit Shanghai yang baru tiga kali menggelar GP Formula 1.


sumber: detikSport

Ramadan di Kampung Komunis

Apa yang akan dijawab oleh orang kebanyakan jika ditanyakan pada mereka tentang komunis? Rasanya tidak akan jauh dari pernyataan “tidak bertuhan”. Karena tidak bertuhan itulah mereka kemudian disebut “kejam”, “biadab”, atau “sadis”. Setidaknya itulah yang berhasil ditanamkan oleh orde baru kepada masyarakat kebanyakan tentang potret partai palu arit itu.

Judul di atas saya sadur persis dari tulisan di harian Koran Tempo edisi Minggu (1/10). Sengaja saya ambil tema “komunis” kali ini karena kemarin, 30 September, adalah salah satu momen sejarah yang dulu biasa kita "peringati": peristiwa G 30 S yang biasanya diikuti dengan kata PKI di belakangnya.

Hal yang tersisa dari peritiwa ’65 itu, selain belum jelasnya peristiwa G 30 S sendiri, juga nasib dari para tapol/napol peristiwa ’65 beserta anak cucunya yang belum bisa menikmati kebebasan secara utuh – setidaknya bebas dari stigma/labeling terhadap mereka. Labeling yang kerap mengikuti mereka adalah label tak bertuhan. Namun itu yang mungkin ingin dibantah oleh tulisan di harian tersebut di atas. Lewat kehidupan seorang Komariah, Koran Tempo ingin memberikan informasi kepada publik bahwa komunis tidak identik dengan ateis. Komariah, yang bekas tahanan politik dari organisasi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan pernah ditahan selama tujuh tahun di Pulau Buru itu mengatakan, komunis hanya sebuah sistem sementara agama adalah hak setiap orang dan tidak ada sangkut pautnya dengan komunis. Komariah bercerita bahwa dia dan keluarganya mendapat pendidikan akidah Islam sejak kecil dari sang ayah, yang berprofesi sebagai dukun sunat, dari membaca Al-Quran, salat, dan puasa.

Koran Tempo juga menyajikan sosok Mbah Hadi Maki, 76 tahun, yang dinyatakan terlibat G 30 S/PKI, malah menjadi imam dan guru mengaji di Lampung sana, tepatnya di Desa Proyek Pancasila, Lampung Timur. Menurut pria asal Sampang, Madura ini, biasanya kalau bulan Ramadan warga bisa lima kali mengkhatamkan Al-Quran. Mbah Hadi sebenarnya aktivis Nahdlatul Ulama yang ikut transmigrasi pada 1962. Pertengahan Oktober 1968, tanpa alasan yang jelas Hadi dituduh menyembunyikan dan bekerja sama dengan pemberontak. Dia pun segera digelandang ke penjara. “Saya dipaksa mengakui perbuatan yang ridak pernah saya lakukan,” ia bercerita.

Koran Tempo kemudian memperkuat gambaran ini dengan pendapat dari sejarawan Asvi Warman Adam. Asvi menilai kegiatan religius yang dilakukan bekas tahanan politik komunis dan Gerwani menunjukkan kenyataan yang bertolak belakang dengan tuduhan banyak kalangan yang mengatakan PKI identik dengan ateis. Bahkan pemberontakan PKI pada 1928 di Banten dan Silungkang, Sumatera Barat, dipimpin oleh para haji, seperti Haji Misbah. Dia menambahkan, PKI dicap ateis bermula pada Desember 1954 tatkala Partai Masjumi mengeluarkan fatwa menjelang pemilihan Umum 1955 yang menyatakan komunis adalah ateis. Kemudian pada November 1965, menurut Asvi, Muhammadiyah dalam kongres kilatnya mengeluarkan fatwa yang menyatakan hukum untuk membasmi PKI adalah fardu ain. TNI juga berperan memberi cap PKI sebagai ateis.

Banyak yang masih tersisa dari buramnya peristiwa '65. Namun buramnya peristiwa tersebut semoga tidak memburamkan mata hati kita untuk bisa tetap melihat sesuatu dengan proporsional, adil dan terus mencari apa yang sebenarnya terjadi pada peristiwa tersebut. Dalam masalah ini, bisa jadi ada yang ateis dari sebagian orang yang mengaku komunis – seperti halnya banyak pula yang ateis dari orang-orang yang mengaku liberal. Tapi tidak adil rasanya kalau menyamaratakan mereka (yang komunis) dengan label yang sama, dan dengan label itu kemudian kita memperlakukan mereka dengan lebih tidak adil lagi, sebagaimana rezim orde baru (yang mengaku tidak ateis) telah berbuat yang demikian.
Wallahu ‘alam

...Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa... (QS. 5: 8)


tema terkait silakan klik goole/g 30 s