Kalau pulang kampung, Saya selalu menyempatkan diri mampir ke rumahnya untuk sekadar ngobrol. Beda lho ngobrol sama dia. Jika Saya bermukim selama beberapa hari, setiap malamnya tak bosan-bosannya
Ane ngobrol
ngalor ngidul dengannya. Entah mengapa bisa sebetah itu Saya bercengkerama dengannya. Padahal pendidikan formal yang pernah dienyamnya (mungkin) sekolah dasar saja. Itupun sepertinya tidak tamat akibat kecelakaan yang dialaminya sampai membuat matanya seperti sekarang ini.
Obrolan kami selalu punya banyak tema. Dari masalah
fengshui sampai masalah politik global (wah gaya euy...). Meskipun dengan pengetahuan seadanya, namun pembicaraan kerap begitu hangat. Apalagi kalau sambil begadang, seperti tidak pernah putus pembicaraan sampai pagi hari.
Namanya Samsul Hadi. Saya biasa memanggilnya Mas Hadi. Usianya hampir 40 tahunan. Dengan keterbatasan yang ada pada matanya, hampir seluruh hidupnya dia habiskan di rumah. Pernah dia “dititipkan” di sebuah pesantren ilmu Quran di Jawa Tengah bagian timur sana, namun dia mengaku tidak betah. Hanya bertahan beberapa bulan, dia memilih
“back to basic” di Tanjung-Brebes sana – sebuah kampung yang hampir serba “kering” dalam berbagai sisi kehidupannya. Dia juga mengaku tahu sebuah “padepokan” untuk kalangan yang memiliki keterbatasan seperti dirinya di Kota Bandung sana. Wiayata Guna namanya. Namun dia mengaku tidak tertarik untuk “mengembara” di tempat seperti itu. Pemeo yang sering dia lontarkan berkaitan dengan orang yang senasib dengannya adalah, “mau diajar dengan berbagai jenis ilmu apapun, pelatihan secanggih apapun, tetap saja “pelabuhan” bagi seorang tuna netra adalah tiga: kalau tidak jadi tukang pijat, ya pengamen; kalo tidak jadi pengamen ya jadi pengemis!" Statemen itu dia lontarkan sebenarnya dalam kerangka mengkritik kebijakan dan perhatian negara yang masih
omdo (omong doank – pen) terhadap “kaumnya”.
Di kampung, Saya punya teman-teman yang lumayan tinggi status pendidikannya. Beberapa sarjana bahkan. Namun dari semuanya itu tidak ada yang bisa jadi teman ngobrol, diskusi, merenung, curhat, dan lain sebagainya; seenak, secocok, seklop kalo Saya ngobrol dengan dia.
Hal lain, dengannya Saya bisa ngobrol hampir semua hal. Seeemua hal! Seperti Saya intro di atas, dari mulai fengshui sampai politik global. Hanya berbekal informasi dari radio dan televisi dia bisa menguraikan rumus-rumus dalam
fengshui dan menjelaskannya pada Saya. Di satu malam kadang kami “
ngegosip” kelakuan pejabat negara kita yang jarang punya malu. Malam lain kami ngobrol soal lawan jenis kami (hehehe...:p). Malam yang lain lagi kami diskusi soal perbedaan mazhab, sekte dan lain-lain. Kadang-kadang juga campur aduk ga jelas, termasuk soal HAM. Yang paling Saya suka kalau dia sudah ngobrol soal
weton (sebuah perhitungan nasib hidup seseorang dengan kaidah-kaidah kejawaan). Dia bisa menebak hari lahir Saya hanya dengan mengetahui tanggal lahir.
Namun demikian dia juga orang yang tidak sungkan bertanya jika merasa tidak tahu tentang sesuatu hal. Yang sering dia tanya kepada Saya adalah seputar bahasa Inggris. Padahal bahasa Inggris saya juga amburadul ;)). Sebaliknya, Saya lebih sering tanya sama dia seputar bahasa Arab.
Sehari-harinya dia selalu dekat dengan radio. Jika sedang di kamarnya, yang menemaninya adalah benda satu itu. Sebenarnya dari sini bisa ketahuan mengapa dia banyak tahu berbagai hal. Dari mulai radio kampung sampai BBC London, kerap dia dengarkan. Adiknya yang lulusan sebuah perguruan tinggi bonafit saja tidak sebanyak dia pengetahuannya. Yang membuatnya berbada adalah daya ingatnya yang begitu kuat. Sepertinya di situlah keadilan Tuhan. Disaat satu inderanya tidak berfungsi, Dia kuatkan indera lainnya dalam diri Mas Hadi.
Saya sering minta diajarin doa olehnya. Yang sampai sekarang sering Saya
dawam-kan adalah:
Ya Allah, karena-Mu-lah hamba bersedekah dan kepada-Mu-lah hamba memohon. Luaskan rezeki hamba, penuhi segala hajat hamba, dan mudahkan segala urusan hamba. “Kalau kamu sanggup, bersedekahlah setiap hari meski hanya dengan sebutir permen yang kau berikan pada ponakanmu, sambil membaca doa ini,” begitu pesannya yang masih melekat kuat di memori ini. Bagi Saya ini adalah doa yang “menyenangkan”. Entah mengapa, Saya merasa (beberapa) rezeki (yang tak terduga) yang saya peroleh sampai sekarang ini adalah berkah dari doa yang dia ajarkan.
Namun demikian bukan berarti tanpa cacat dan kekurangan “teman spesial” Saya itu. “Hadi juga manusia” :p. Semangatnya kurang terlihat kalau Saya perhatikan. Sering dia berkeluh kesah akan “nasibnya”, namun tidak tampak api kemauan dalam dirinya untuk berubah dan membalik garis hidupnya.
Satu hal yang saya prihatinkan darinya adalah tidak bisanya dia tidur malam. Dalam 24 jam sehari semalam, dia hanya mampu 3-4 jam tidur. Itupun saat siang sampai sore hari. Belum lagi dia termasuk perokok berat. Selepas itu hari-harinya dia habiskan dengan mendengar, bercakap, merenung, ikut begadang bareng anak kampung lain, memberi nasehat kepada orang lain, bertafakur, dan bermunajat, dan entah apa lainnya....
Alaa kulli haal, tentang teman, saudara (meski jauh, mungkin teramat jauh) sekaligus guru Saya itu, sebenarnya inginlah diri ini berkata: Saya suka membayangkan suatu hari bisa membawanya ke suatu tempat di mana kapasitas dan kemampuannya bisa
teraktualisasi. Rasanya sayang melihat orang secerdas dan sepotensial dia harus hidup “
in the wrong place” seperti di kampung Saya itu. Namun obsesi sepertinya masih jauh panggang dari api. Tapi apa iya tidak bisa?! Apa akan selalu berlaku pemeo yang kerap dia lontarkan tentang nasib orang seperti dirinya? Sejauh ini Saya baru bisa berangan dan berharap bisa melakukannya. Mudah-mudahan ruang ini juga bisa menjadi salah satu "wasilah" bagi perubahan untuknya. Adakah? Semoga....
px
"Sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi manusia lainnya" (Muhammad saw)