Doa (2)
Penulis favorit saya bercerita:
Pada zaman orde baru saya mendapat beasiswa dari presiden untuk belajar di Australia. Saya berangkat ke Australia, dengan bekal janji akan mendapatkan kiriman beasiswa. Tetapi, sampai sebulan di sana, beasiswa tak kunjung datang juga. Maka saya mulai rajin shalat malam saya membaca Al-Quran hampir setiap ba’da maghrib. Karena saya panik, esoknya saya juga berdoa. Bagaimana saya bisa hidup di luar negeri tanpa kiriman tersebut. Besoknya saya pergi ke bank mengecek uang itu. Saya mengecek efek doa itu. Ternyata rekening saya masih tetap seperti semula.
Akhirnya sudah sampai pada tahap yang gawat, saya menghubungi keluarga. Di rumah saya tinggalkan kendaraan. Tetapi ternyata dipinjam teman saya. Di jalan tol Cikampek ia mengalami kecelakaan lalu lintas. Mobil saya hancur sama sekali. Saya waktu itu berkata, “Tuhan, engkau ini bagaimana? Saya mohon bantuan-Mu, tetapi malah mobil yang telah Kau berikan, Kau ambil juga.” Seperti biasa kalau doa kita tidak dikabulkan, kita mesti bertanya-tanya dan protes. Lalu saya pikir, ini karena dosa-dosa. Dosa-dosa itulah yang menghambat sampainya doa kita kepada Allah. Kemudian saya mulai berpikir: Tapi siapa di dunia ini yang tidak berdosa? Bukankah hanya para Nabi yang dijamin tidak berdosa? Kita semua berdosa. Kalau doa menghalangi terkabulnya doa, kita tidak usah berdoa sajalah.
Kebetulan saya mengaji sampai pada surah Maryam, yang bercerita tentang Nabi Zakaria yang berdoa ingin punya anak. Dia berdoa sejak umur 20 tahunan setelah menikah, sampai usianya 80 tahun. Doanya tidak juga diijabah. Dan pada usia 80 tahun itu Nabi Zakarian berdoa begini: “Tuhanku, telah telah rapuh tulangku, telah penuh uban kepalaku. Tapi aku tidak putus asa berdoa kepada-Mu.” Membaca ayat itu saya tersentak. Nabi Zakaria seorang nabi yang tidak berdosa, tapi Tuhan tidak segera menyegerakan mengabulkan doanya. Saya baru berdoa beberapa minggu saja, sudah menggerutu seperti itu. Kebetulan Al-Quran yang saya baca ada tafsirnya (Tafsir Al-Muiin). Dibawahnya ada hadis-hadis yang menjelaskan ayat-ayat di atas. Salah satu yang menyentuh saya adalah hadis qudsi itu. Tuhan berkata kepada para malaikat: “Di sebelah sana ada seorang hamba-Ku yang fasik banyak berbuat dosa, berdoa kepada-Ku. Penuhi permintaannya dengan segera. Karena Aku sudah jera mendengar suaranya. Di tempat lain ada seorang hambaku yang saleh sedang berdoa kepada-Ku. Tangguhkan permintaannya. Karena aku senang mendengar rintihannya.”
Setelah membaca hadis itu, saya segera bersujud seraya berkata: “Tuhan, bila Engkau senang dengan rintihanku, terserah Engkau kapan saja Kau penuhi permintaanku.” Setelah itu baru aku tenang dan tidak mengecek-ngecek lagi ke bank. Tapi tak lama kemudian saya dapat juga kiriman beasiswa itu. Meskipun demikian, saya sudah pasrah. Asal Tuhan senang pada rintihan doa saya, tidak apa-apa.
“Tidak ada baiknya seorang manusia yang tak pernah sakit dan tak pernah hilang hartanya. Karena kalau Allah mencintai seorang hamba, maka diberi-Nya ujian dan kesabaran yang menghadapinya.” (Nabi saw)
Sumber: Memaknai Kematian by Jalaluddin Rakhmat
Pada zaman orde baru saya mendapat beasiswa dari presiden untuk belajar di Australia. Saya berangkat ke Australia, dengan bekal janji akan mendapatkan kiriman beasiswa. Tetapi, sampai sebulan di sana, beasiswa tak kunjung datang juga. Maka saya mulai rajin shalat malam saya membaca Al-Quran hampir setiap ba’da maghrib. Karena saya panik, esoknya saya juga berdoa. Bagaimana saya bisa hidup di luar negeri tanpa kiriman tersebut. Besoknya saya pergi ke bank mengecek uang itu. Saya mengecek efek doa itu. Ternyata rekening saya masih tetap seperti semula.
Akhirnya sudah sampai pada tahap yang gawat, saya menghubungi keluarga. Di rumah saya tinggalkan kendaraan. Tetapi ternyata dipinjam teman saya. Di jalan tol Cikampek ia mengalami kecelakaan lalu lintas. Mobil saya hancur sama sekali. Saya waktu itu berkata, “Tuhan, engkau ini bagaimana? Saya mohon bantuan-Mu, tetapi malah mobil yang telah Kau berikan, Kau ambil juga.” Seperti biasa kalau doa kita tidak dikabulkan, kita mesti bertanya-tanya dan protes. Lalu saya pikir, ini karena dosa-dosa. Dosa-dosa itulah yang menghambat sampainya doa kita kepada Allah. Kemudian saya mulai berpikir: Tapi siapa di dunia ini yang tidak berdosa? Bukankah hanya para Nabi yang dijamin tidak berdosa? Kita semua berdosa. Kalau doa menghalangi terkabulnya doa, kita tidak usah berdoa sajalah.
Kebetulan saya mengaji sampai pada surah Maryam, yang bercerita tentang Nabi Zakaria yang berdoa ingin punya anak. Dia berdoa sejak umur 20 tahunan setelah menikah, sampai usianya 80 tahun. Doanya tidak juga diijabah. Dan pada usia 80 tahun itu Nabi Zakarian berdoa begini: “Tuhanku, telah telah rapuh tulangku, telah penuh uban kepalaku. Tapi aku tidak putus asa berdoa kepada-Mu.” Membaca ayat itu saya tersentak. Nabi Zakaria seorang nabi yang tidak berdosa, tapi Tuhan tidak segera menyegerakan mengabulkan doanya. Saya baru berdoa beberapa minggu saja, sudah menggerutu seperti itu. Kebetulan Al-Quran yang saya baca ada tafsirnya (Tafsir Al-Muiin). Dibawahnya ada hadis-hadis yang menjelaskan ayat-ayat di atas. Salah satu yang menyentuh saya adalah hadis qudsi itu. Tuhan berkata kepada para malaikat: “Di sebelah sana ada seorang hamba-Ku yang fasik banyak berbuat dosa, berdoa kepada-Ku. Penuhi permintaannya dengan segera. Karena Aku sudah jera mendengar suaranya. Di tempat lain ada seorang hambaku yang saleh sedang berdoa kepada-Ku. Tangguhkan permintaannya. Karena aku senang mendengar rintihannya.”
Setelah membaca hadis itu, saya segera bersujud seraya berkata: “Tuhan, bila Engkau senang dengan rintihanku, terserah Engkau kapan saja Kau penuhi permintaanku.” Setelah itu baru aku tenang dan tidak mengecek-ngecek lagi ke bank. Tapi tak lama kemudian saya dapat juga kiriman beasiswa itu. Meskipun demikian, saya sudah pasrah. Asal Tuhan senang pada rintihan doa saya, tidak apa-apa.
“Tidak ada baiknya seorang manusia yang tak pernah sakit dan tak pernah hilang hartanya. Karena kalau Allah mencintai seorang hamba, maka diberi-Nya ujian dan kesabaran yang menghadapinya.” (Nabi saw)
Sumber: Memaknai Kematian by Jalaluddin Rakhmat
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home