Sunday, October 15, 2006

Mbah Surip dan Mbak Bertha

Mungkin karena sudah lama tidak pernah ketemu, atau malah ga pernah ketemu secara langsung sama sekali, acara Cak Nun plus Kiai Kanjeng (CNKK) di Jakarta yang berlangsung dua malam berturut-turut di dua tempat berbeda, saya bela-belain untuk menghadirinya. Meskipun dua-duanya berakhir jam 3-an pagi atau pas waktu sahur. Untung saja hari libur, jadi baru tidur selepas shubuh pun tak masalah. Wong ga kerja kok :p.

Acara Kenduri Cinta di TIM pada Jumat malam, dan Cinta Negeriku (sebenarnya pengajian) di Masjid Cut Mutia pada Sabtu malamnya. Sebenarnya apa yang disampaikan pada dua tempat itu oleh Cak Nun dan Kiai Kanjeng tidak jauh berbeda. Hanya saja karena lagi “kangen berat”, yang diulang-ulang pun tidak menjadi soal, malah jadi tambah hapal.

Yang sedikit membedakan adalah, Sabtu malam itu saya bisa menyaksikan Mbah Surip mendendangkan lagu dan Mbak Berta bisa bercerita sekelumit tentang dirinya. Seperti biasa dengan gayanya yang khas dan membawa kejenakaan, Mbah Surip (yang pernah tampil di SCTV) membawakan lagu “Bangun Tidur” dan “Tak Gendong”. Di sela-sela itu si mbah yang berambut gimbal ala Bob Marley itu tak henti-hentinya menebarkan senyum dan tawanya sambil menyampaikan salam khasnya: “I love you full, kha...kha...kha...” (mulutnya menganga lebar). Hanya dengan itu saja semua yang hadir dibuat terpingkal-pingkal. Dua lagu itu Mbah Surip bawakan bersama Mbak Bertha.

Siapakah mbah dan mbak yang dibawa CNKK itu? Kyai Mbeling, seperti tahu alam pikiran yang hadir, menjelaskan keberadaan dua orang tersebut, baik dalam acara tersebut maupun dalam alam yang lebih luas lagi: kehidupan ini. Seperti tahi lalat, Cak Nun bertanya pada jamaah apa arti keberadaannya bagi seseorang. “Apa sih guna dan fungsi tahi lalat pada tubuh manusia?” Kemudian saya rasa kebanyakan hadirin baru tersadar – termasuk saya – bahwa benda berwarna hitam-kecoklatan dengan bentuk kebanyakan lingkaran itu bisa menjadi pemanis wajah dari seseorang. Begitulah kira-kira keberadaan Mbah Surip dalam kehidupan ini – sosok yang jika hanya dilihat dari segi fisik saja kita akan menganggap dia sebagai orang yang aneh. Dengan rambut gimbalnya yang panjang dan kemana-mana membawa gitar, ditambah seringnya dia tertawa bak orang gila, pria kelahiran 1939 ini tidak akan jauh dari sangkaan semacam itu. Namun kita sering lupa bahwa keberadaan orang seperti beliau punya peran tersendiri dalam hidup ini: memaniskan hidup yang pahit ini.

Mbak Bertha bercerita tentang pria yang masih lajang ini. Dia pernah bertanya pada Mbah Surip. “Apa sih hidup itu Mbah?” Mbah Surip menjawab, katanya: dua hal. Pertama, mata bisa melek dan bangun, kemudian bisa tidur lagi. Kedua, asal ada gitar, itu berarti hidup. Sudah, itu saja! Menurut Mbak Bertha, Mbah Surip adalah orang yang punya “tempat tinggal” yang sebenarnya. Dia bisa tidur dimana saja dan kapan saja. Ketika Mbah Surip ingin pergi ke suatu tempat, dia tidak peduli apakah dengan kendaraan umum, ngojeg atau bahkan jalan kaki. Ketika dia ingin pergi maka pergilah dia. Tidak peduli apa yang akan membawanya. Mbak Bertha menandaskan, ringan sekali hidupnya. Menurut Cak Nun, si mbah yang satu ini, mau ada duit atau ga ada duit, ketawanya tetap sama: kha...kha...kha... dengan mulut yang terbuka lebar. Bagi suami Novia Kolopaking ini, sosok-sosok seperti mbah Surip inilah waliyullah (wali Allah). Mereka hadir kepada kita untuk menyindir kita yang sering menyangka bahwa keapesanlah yang terus-menerus hadir dalam hidup kita. Mereka menyindir kita karena kita baru bisa bahagia kalau sudah pake mobil, kalau sudah punya rumah, punya anak, pasangan, deposito, dan onderdil-onderdil duniawi lainnya. Untuk bahagia Mbah Surip hanya cukup dengan bisa melek dan tidur lagi, dan membawa gitar untuk berdendang. That’s it!

Adapun Mbak Bertha sendiri adalah seorang yang pernah sukses di balik sukses AFI Indosiar. Dialah sosok yang berada di belakang layar, yang bertugas melatih para kontestan yang akan berlaga. Namun kegelisahan mendera ketika dia tidak melihat “spirit” dalam hiburan yang dikemas dalam kerangkeng bernama industri. Tidak ada kreatifitas, tidak ada “jiwa”. Hanya seperti itu saja industri hiburan. Kemudian dia bertemu dengan orang-orang yang sekarang ada di sekelilingnya. Kiai Kanjeng, Mbah Surip, Cak Nun, Idris Sardi, dan sebagainya. Dia melihat Kiai Kanjeng yang “biasa” saja menyikapi musik. Musik diperlakukan sebagaimana musik, bukan sebagai media mencari untung. Dia bilang banyak belajar kepada grup musik ini. Terhadap Mbah Surip juga. Falsafah hidupnya yang sederhana justru memberikan makna hidup yang sebenarnya. Pun terhadap Cak Nun dan Idris Sardi.

Sekarang ini, selain menemani CNKK tour ke berbagai tempat di belahan dunia, Mbak Bertha juga aktif melatih anak-anak dalam bidang musik. Dia punya obsesi: kalau ada rejeki lebih, dia ingin membagikan CD gratis berisi lagu-lagu dari anak-anak yang sedang dibinanya. “Tagih saya!” katanya.

Sabtu malam itu Jakarta tidak sunyi. Di jalanan banyak anak muda bergerombol dengan kendaraan dan kebanggaan kelompoknya masing-masing. Saya tidak peduli dengan semua itu. Yang saya tahu, malam itu saya belajar banyak dari dua sosok tersebut.

Baarokallah...

px

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home