Thursday, September 28, 2006

Rindu (2)

Sekali lagi dia datang padaku
“Tidakkah kau membutuhkan aku?” tanyanya
“Tentu saja,” jawabku
“Lalu mengapa kau menghindar dariku” serangnya
“Belum saatnya,” kataku lagi
“Mengapa?”
“Bukankah aku keindahan?”
“Bukankah aku yang membuat hari-hari setiap orang menjadi hidup?”
“Bukankah aku anugerah? Yang selalu didamba oleh setiap yang memiliki hati?”
“Betul,” jawabku
“Tapi kau juga mampu membuat hati jadi kecewa, jika tidak tepat saatnya”
“Kau juga yang sering menjadi fatamorgana, jika belum pasti kejadiannya”
“Belum saatnya aku mendekapmu”
“Belum saatnya kau menjadi temanku”
“Belum saatnya kau menjadi nyanyian keseharianku”
“Belum saatnya kau datang padaku”
“Pulanglah..."

Sejurus kemudian dia menjawab

“Kau salah”
“Kau salah mengerti tentangku”
“Aku tidak hadir hanya untuk berbicara tentang seseorang"
“Aku tahu,” cepat aku menepis
“Tapi bukankah kau datang membawa itu kali ini?”

Mukanya berpaling, melihat kekosongan, tak bisa berkata lagi, tampak kecewa

Aku menghampirinya, meyakinkannya:
"Jangan khawatir”
“Aku bahkan sedang berjalan mencarimu”
“Biarkan aku yang menemukanmu”
“Sebab kali ini bukan tugasmu untuk menghampiri hati”
“Rindu...”


px
280906/1611 (inspired by “y”)

Tuesday, September 26, 2006

Hukum kekekalan energi

Kejadiannya sudah cukup lama, waktu kelas 3 SMA kayanya. Siang itu, saat nunggu angkot pulang, seorang teman saya yang memang punya pikiran “maju” tiba-tiba berkata pada saya, “Pik, ga ada itu yang namanya kualat.” Saya agak lupa apa kemudian dia melanjutkan dengan ngomongin masalah karma atau sejenisnya, tapi yang pasti waktu itu saya terdiam saja mendengar ucapannya. Saya diam bukan tidak ingin membantah, tapi waktu itu saya merasa tidak punya “amunisi” untuk membantahnya. Sepanjang jalan saya memikirkannya, merenunginya. Terus-menerus sampai beberapa tahun kemudian baru saya menemukan “dalil” keabsahan yang namanya kualat.

Orang Jawa menyebutnya kualat, sementara orang Sunda dengan aksen yang sedikit berbeda menyebutnya kawalat. Selama ini saya merasa, meski kualat adalah istilah dari masyarakat kebanyakan, bukan istilah dari “langit”, tapi ada banyak bukti bahwa kualat adalah istilah, sekaligus mekanisme, yang memang berlaku dalam kehidupan manusia: bahwa ketika seseorang melakukan sesuatu, baik atau buruk, maka akibat dari perbuatannya itu akan kembali pada orang yang melakukannya. Siapa menabur, dia yang memetik, begitu menurut peribahasa. Hanya saja, istilah kualat memang lebih berkonotasi negatif.

Berikut ini adalah cerita yang punya kaitan dengan tema di atas. Thx buat ‘nippe yang telah mengirim tulisan ini pada saya. May God bless u always :)

Any way, Selamat membaca...

04/08/2006 06:39
"Uang Korupsi Itu Merusak Anak Saya"
Jamil Azzaini - Kubik Leadership

Jakarta , Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah terlalu besar dan diluar kontrol. Korupsi sudah merasuki semua sendi kehidupan dan telah terjadi baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Pernyataan presiden yang disampaikan pada acara Presidential Lecture di Istana Negara pada Rabu, 2 Agustus 2006, itu mengisyaratkan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia masih jauh dari harapan.

Kendati pelaku korupsi tampak tak terjamah, tapi yakinkah kita bahwa mereka benar-benar lolos dari jerat hukum? Ngomong-ngomong soal korupsi saya ingin berbagi cerita.

Suatu hari, saya diundang untuk berbicara di depan staff dan pimpinan sebuah perusahaan ternama. Pada kesempatan tersebut saya berbicara tentang "hukum kekekalan energi", yang intinya, menurut hukum kekekalan energi dan semua agama, apapun yang kita lakukan pasti akan dibalas sempurna kepada kita di dunia. Dengan kata lain, apabila kita melakukan "energi positif" atau kebaikan maka kita akan mendapat balasan berupa kebaikan pula. Begitu pula bila kita melakukan "energi negatif" atau keburukan maka kitapun akan mendapat balasan berupa keburukan pula.

Ketika sesi tanya jawab, salah seorang pimpinan di perusahaan itu mengkritik pedas "hukum kekekalan energi". Walau saya sudah menjelaskan dengan beragam argumen ilmiah dan contoh-contoh dalam kehidupan nyata, dia tetap tidak yakin. Sampai kami berpisah, kami masih pada pendapat masing-masing.

Tujuh bulan berlalu, pimpinan itu tiba-tiba menelpon saya. "Pak Jamil, saya ingin bertemu anda," ujarnya singkat.

Karena penasaran, undangan dari beliau saya prioritaskan. Singkat kata, pada waktu dan tempat yang telah disepakati kami bertemu.

Rupanya beliau tiba lebih dulu di tempat kami janjian. Begitu saya datang, beliau segera menyambut dengan sebuah pelukan erat. Cukup lama beliau memeluk saya. "Maafkan saya pak Jamil. Maafkan saya," ucapnya, sambil terisak dan terus memeluk saya. Karena masih bingung dengan kejadian ini saya diam saja.

Setelah kami duduk, beliau membuka percakapan. "Saya sekarang yakin dengan apa yang pak Jamil dulu katakan. Kalau kita berbuat energi positif maka kita akan mendapat kebaikan dan bila kita berbuat energi negatif maka pasti kita akan mendapat keburukan," ujarnya.

"Bagaimana ceritanya sekarang kok bapak jadi yakin?" tanya saya.

"Selama saya menjabat pimpinan di perusahaan itu, saya menerima uang yang bukan menjadi hak saya. Semuanya saya catat. Jumlahnya lima ratus dua puluh enam juta rupiah," katanya.

Sembari menarik napas panjang beliau melanjutkan bercerita. Kali ini tentang anaknya.

"Anak saya sekolah di Australia . Karena pengaruh pergaulan, dia terkena narkoba. Sudah saya obati dan sembuh. Ketika liburan, dia ke Amerika dan Kanada. Tidak disangka, disana dia bertemu dengan teman pengguna narkobanya ketika di Australia . Anak saya sebenarnya menolak menggunakan lagi. Namun dia dipaksa dan akhirnya anak saya kambuh lagi, bahkan makin parah, pak." Selama bercerita, beliau tak henti mengusap pipinya yang basah dengan air mata yang terus meleleh seperti tak mau berhenti.

"Pak Jamil tahu berapa biaya pengobatan narkoba dan penyakit anak saya?" Tanpa menunggu jawaban saya, lelaki separuh baya itu berkata lirih, "Biayanya lima ratus dua puluh enam juta rupiah. Sama persis dengan uang kotor yang saya terima, pak!"

Beliau tertunduk dan menggeleng-gelengkan kepala disertai isak tangis yang makin keras. Dengan terbata lelaki itu berkata, "Uang korupsi itu telah merusak anak saya, pak. Saya menyesal. Saya bukan orang tua yang baik. Saya telah merusak anak saya, pak!"

Saya peluk erat lelaki itu. Saya biarkan air matanya tumpah. Tangisnya semakin keras....

Wahai saudara, haruskah menunggu anak kita menjadi pengguna narkoba dan sakit untuk berhenti korupsi?

Keterangan Penulis:
Jamil Azzaini adalah Senior Trainer dan penulis buku Best Seller KUBIK LEADERSHIP; Solusi Esensial Meraih Sukses dan Kemuliaan Hidup.


"Tiap-tiap amalan (perbuatan) ada balasannya. Karena itu, waspadalah terhadap akibat dari perbuatan anda." (Ulama)

Munggahan

Jumat kemarin, dua hari menjelang puasa, alhamadulillah saya sempet munggahan ke kampung halaman di Berebes (Brebes) sana bersama dua kakak dan dua ponakan tercinta. Sungkem sama ortu ceritanye... :p
Sepanjang perjalanan saya mikir, apa sebenernya makna dari “munggahan”. Saya tanya dua kakak saya, mereka juga ga ngerti. Mau tanya temen saya yang banyak tahu berbagai hal dari masalah kejawen sampai ilmu tasawuf, meski dia tuna netra, eeee... kelupaan. Tapi untungnya ada mister Google. Saya searching deh “barang” yang namanya munggahan itu. Ini salah satunya....

Republika, 17 September 2006

Tradisi munggahan
Masyarakat Jawa Barat dan Jawa Tengah bagian selatan juga memiliki tradisi untuk menyambut Ramadhan. Tradisi itu disebut munggahan. Disebut demikian karena mereka menganggap, orang yang berpuasa itu munggah atau meningkat perasaannya.
Saat munggahan, masyarakat biasanya membuat sajian dengan tujuh jenis lauk-pauk. Tujuh macam lauk-pauk itu antara lain: sambal goreng, bakmi, gudangan (urap), tempe, daging/ayam goreng, telur, dan acar. Di daerah Jawa Tengah, ikan jarang sekali dipakai sebagai pelengkap lauk-pauk dalam tradisi ini. Sebaliknya di Jawa Barat, ikan dan lalapan selalu hadir dalam sajian munggahan.
Bila dicermati, ketujuh jenis lauk itu memiliki cita rasa yang sangat beragam. Hal ini ternyata bukan tanpa makna. ''Ini melambangkan, manusia itu mempunyai katakter yang berbeda-beda, begitu pun kesenangannya sangat beraneka.''
(nri )

Masyarakat kita punya banyak cara dan mekanisme untuk mewujudkan rasa gembiranya menyambut bulan suci. Munggahan adalah salah satu nya. “barangsiapa yang senang atas datangnya bulan puasa, diharamkan atasnya api neraka.” (Alhadist).

wallahu 'alam

Monday, September 25, 2006

Taraweh

Akhirnya kutemukan kembali...

Dua hari pertama puasa saya tidak sempat sembahyang “khas” bulan ramadan: taraweh. Dua hari itu, selain badan yang kecapean setelah munggahan ke kampung halaman, juga karena ada beberapa hal yang harus ditunaikan bertepatan dengan waktu tarawehan. Alhasil, bolonglah dua hari pertama itu.

Tapi pas dapet tarawehan pertama kali di bulan ini, saya seperti balik ke kampung halaman jaman saya masih SD dulu. “Gaya” tarawehan yang saya ikuti di kota “semegah” Tebet ini ternyata masih menyimpan kearifan kampung halaman. Maklum, selama di Bandung dulu, kalo pun taraweh, -- biasanya sih jarang :p -- gayanya (maaf) “sunyi senyap”.

Karenanya ikut sembahyang tarawih tadi, selain seperti diajak “napak tilas”, ada keharuan tersendiri menjalaninya. Kembali saya mendapati suara (sebut saja) bilal mengumandangkan puji-pujian tiap dua rakaat selesai. Setelah itu suara jamaah bergemuruh menjawabnya. Meski lafal-lafalnya berbeda dengan lafal di kampung, tapi intinya tetap sama: memuji asma-Nya. Ada yang berbeda merasuk sukma saat suara-suara itu bergemuruh. Kesyahduan seperti menyelimuti seluruh alam keagamaan saya. Oleh karenanya, saya kok tidak sependapat dengan saudara-saudara saya dari kalangan yang biasa disebut “kalangan modernis” yang menyebut hal seindah ini sebagai bid’ah – hanya karena tidak dicontohkan langsung oleh Nabi. Saya selalu merasa dan yakin hal semacam ini menjadi bagian dari kearifan para ‘alim terdahulu dalam syiar agama, yang selalu tetap berpegang pada sumber rujukan primer agama, tanpa kaku memposisikan di mana dia berada.

Namun demikian bukan saya bermaksud menyepelekan yang namanya bid’ah. Hanya saja, saya bingung mengapa keindahan itu harus disebut bid’ah.
Wallahu’alam bishshowab...

Thursday, September 21, 2006

Gundah...

assalaamu'alaikum

menjelang bulan puasa ini, tidak ada rasa di hati ini, seperti rasa yang ada di banyak hati orang: gembira bertemu kembali ramadlan. saya gundah, seberapa iman saya jika begitu? padahal kalo tidak salah mengutip sebuah sabda, rasa senangnya kita saja akan datangnya bulan ini, bisa menghapus dosa-dosa kita. saya bingung, kenapa yang kebayang di kepala ini malah lapar, terbatasnya aktifitas, ngantuk, tidur, dan hal-hal kerdil lainnya. berdosakah saya...?
tapi lepas dari itu semua, saya ingin memohon maaf kepada yang mampir ke blog ini, lahir dan batin. mohon dimaafkan jika ada yang salah pada kata dan nada di blog ini. setidaknya dari sini saya bisa berharap, saya bisa memulai puasa dengan bersih dari dosa sesama...

syukron

px :)
Sekolah Rumah, Siapa Mau Coba?

Beginilah suasana ketika Deviana sedang mengajar Nindya Putri Catur Permata Sari, putri bungsunya. Istri Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi ini mendidik sendiri anak-anaknya di rumah, tidak menyekolahkan mereka di sekolah umum. Materi yang ia .....

baca lebih lanjut di www.vhrmedia.net/feature
Sudah dua orang yang nanyain saya , "mana tulisannya?" Bingung juga gimana ngejawabnya. Tapi kayanya memang belum sempet aja. Rada sibuk euy...:p
Malam ini akan jadi "malam pembalasan" untuk memenuhinya. Ada beberapa tulisan dan satu puisi di bawah. mudah2an berkenan :)


Doa

Perlukah seseorang berdoa?
Untuk apakah seseorang berdoa?
Saat susah sajakah kita berdoa?
Tidak terpecahkankah masalah jika kita tidak berdoa?

Jika masalah tidak terpecahkan hanya karena kita tidak berdoa, maka tidak eksislah kerahmanan Allah.

Menurut saya, Rahman (cinta meluas)* Allah termanifestasikan dengan kehidupan ini yang berisi ketaatan dan pembangkangan, baik dan buruk, ‘adil dan dzalim, benar dan salah, tinggi dan rendah, kanan dan kiri, kerja keras dan kemalasan, semangat dan putus asa, besar dan kecil, dekat dan jauh, gelap dan terang, haq dan bathil, samar dan transparan, jelas dan kabur, siang dan malam, pagi dan sore, iman dan kafir, syukur dan kufur, kasih sayang dan aniaya, cinta dan benci, amanah dan khianat, halal dan haram, naik dan turun, jatuh dan bangun. Semuanya Dia serahkan sepenuhnya kepada para penghuni dan pelaku kehidupan ini untuk memilih satu di antaranya.

Untuk memecahkan masalah tidak perlulah berdoa. Cukuplah seseorang menggunakan fasilitas kerahmanan Allah tersebut dengan semestinya. Jika seseorang dengan sekuat tenaga berusaha keluar dari masalahnya, niscaya akan selesailah masalah yang dihadapinya – jika dia benar dalam menggunakan cara untuk memecahkan masalahnya itu. Bukankah yang tidak mengenal Allah (kafir) bisa juga memecahkan sebuah permasalahan yang dihadapinya? Jikalah hanya bagi mereka yang mau berdoa – dan tentunya dia beriman -- kepada Allah saja yang akan keluar dari masalah yang dihadapinya, akan seperti apalah jadinya kehidupan ini? Bukankah kehidupan ini tidak lagi menjadi ajang “ujian” bagi manusia untuk menjadi yang terbaik (takwa)? Sebab ketika hanya mereka yang berdoa kepada Allah saja yang akan keluar dari permasalahannya, bukankah akan berbondong-bondong manusia menjadi beriman kepada Allah? Tidak seperti itu sifat kehidupan (manusia) ini.

Adapun doa, lagi-lagi menurut saya, adalah wujud dari kerahiman (cinta mendalam)* Allah agar hambanya bisa mengenal-Nya lebih dekat. Doa adalah “panggilan khusus” yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang khusus pula, agar seseorang bisa merasakan kenikmatan iman kepada-Nya. Panggilan ini ditandai dengan rasa frustasi kita, mentoknya pikiran kita, buntunya usaha-usaha kita, ketika kita dihadapkan pada suatu permasalahan. Kenikmatan iman itu kemudian terasakan ketika kelegaan hadir di hati kita. Saat kita benar-benar pasrah, rendah, dan lemah dihadapan-Nya. Belum lagi ketika apa yang kita pinta dikabulkan-Nya, kenikmatan pun semakin menjadi-jadi di sanubari.

Oleh karenanya doa tidak hanya dilakukan saat kita “merasa” susah saja. Doa adalah salah satu fasilitas Tuhan yang diberikan pada hambanya untuk bisa merasakan cinta sejati-Nya. Dengan doalah kita bisa merasakan kedekatan-Nya dengan diri kita. Bukankah lewat doa kita berbicara dengan kalimat langsung kepada-Nya. Karena itu doa juga dikategorikan sebagai ibadah. Ketika kita berdoa, yang berarti meminta, perilaku memintanya kita itu dihargai dengan nilai “pahala”. Bukankah sebuah fasilitas yang super menakjubkan ketika kita meminta sesuatu, justru permintaan itu dihargai sebuah nilai tersendiri. Belum lagi jika permintaan kita dikabulkan-Nya. Adakah mekanisme seperti ini yang terjadi dalam kehidupan kemanusiaan kita?

Anehlah orang yang berkata, “masalahku belum selesai, aku akan berdoa lagi.”

Ingat, ini hanya menurut saya saja!

Px

Makasih Ulan karena telah memberiku inspirasi.

*istilah dari Cak Nun

Impor Beras (Lagi)

sori kalo yang ini rada berat n serius..... :p

Ada Apa Dibalik (Politik) Impor Beras?

Pemerintah berencana melakukan impor beras lagi. Seperti biasa, dalih yang digunakan adalah stabilisasi harga dan pemenuhan stok beras di bulog yang tidak mencapai 1 juta ton – dalih yang oleh banyak kalangan disebut sebagai hal yang klise.

Padahal Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya di depan sidang paripurna DPD pada 23 Agustus lalu menyebutkan, tingkat pertumbuhan perekonomian pada semester pertama tahun 2006 sebesar 5% dipicu oleh peningkatan produksi tanaman pangan dan beras.

Sementara data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan bahwa produksi gabah kering giling (GKG) tahun ini mencapai 54,75 juta ton, yang berarti ada kenaikan dari tahun 2005 dan surplus (Suara Pembaruan, 30/08/06).

Bahkan hal ini dikemukakan sendiri oleh Menteri Pertanian Anton Apriantono, seperti diungkapkan oleh Tjahyo Kumolo salah satu fungsionaris PDIP di harian Republika bahwa produksi beras cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri hingga akhir tahun. Bahkan ada surplus sebesar 100.000 ton (Republika online, 13/9/06).

Satu dampak yang pasti dari kebijakan impor beras adalah turunnya harga beras –- dan ini yang menjadi tujuan pemerintah memang. Di satu sisi hal ini meringankan konsumen, namun di sisi lain kebijakan ini selalu merugikan petani. Turunnya harga beras mengakibatkan tidak tertutupinya biaya produksi petani. Dampak lain dari impor beras ini adalah masuknya beras ilegal dalam jumlah besar. Hal ini tentu saja semakin membuat harga beras lokal semakin kompetitif. Yang diuntungkan dari semua ini adalah mafia perberasan karena merekalah yang bisa memainkan harga. Sementara petani, lagi-lagi adalah pihak yang paling dirugikan.

Jika demikian, mengapa kebijakan ini kembali dikeluarkan oleh pemerintah?

Sesungguhnya dari tahun ke tahun, dari rejim ke rejim, kebijakan impor beras selalu terjadi. Sejak tahun 1988 Indonesia selalu menjadi negara pengimpor beras (Pembaruan Tani, Januari ’06). Bahkan tahun 2003 lalu Indonesia menjadi negara pengimpor beras nomor satu di dunia (Iwantono, Politik Beras: 2003).

Fakta bahwa kebijakan impor beras merugikan rakyat petani tidak bisa dibantah lagi. Jika dihadapkan situasi yang demikian pemerintah selalu berkelit dengan kesediaan pemerintah untuk membeli beras langsung dari petani melalui Bulog. Hal ini dimaksudkan agar petani tidak merugi. Namun demikian kenyataan di lapangan mengatakan lain. Peran Bulog untuk membeli beras petani ternyata tidak maksimal. Setelah Bulog berubah menjadi BUMN dengan ditandai keluarnya UU No. 19/2003 tentang BUMN, lembaga penampung beras nasional ini menjadi perusahaan yang berlogika untung rugi. Hal ini terlihat dari: pertama, rentang waktu yang diberikan untuk membeli beras petani sangat pendek yakni 12 hari; kedua, Bulog hanya berkonsentrasi di pulau Jawa saja padahal Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan beras masih masih banyak tersedia; Bulog sengaja memberikan syarat-syarat yang terlalu berat (Pembaruan Tani, Januari 2006).

Sejak terlibat dalam WTO, kebijakan sektor pertanian Indonesia selalu didikte oleh organisasi tersebut. Salah satu dari hal tersebut adalah pengaturan standar harga beras internasional. Harapannya agar beras sebagai konsumsi pokok yang banyak dikonsumsi masyarakat perkotaan dan masyarakat buruh bisa terus terjaga harganya dan penyediaannya, sehingga potensi dan iklim investasi di wilayah industri tidak terganggu akibat adanya pergolakan sosial. (Aditya, IMF: Alat Imperialisme!)

Entah apa yang ada di benak pemerintah kita. Namun yang pasti negera-negara lain seperti Jepang misalnya, amat serius menyikapi masalah makanan pokok ini. Saat ini harga beras di Jepang sekitar Rp 35 ribu-40 ribu per kilogram. Pemerintah Jepang bersedia membeli dari petani dengan harga setinggi itu. Padahal, kalau mereka belanja di pasar internasional, beras bisa diperoleh dengan harga kurang dari Rp 2.000 saja. Tapi Jepang tidak mau melakukan itu. Betapapun tinggi harganya, beras harus diproduksi sendiri di dalam negeri. Mereka memandang beras tidak sekadar masalah hitung-hitungan ekonomi belaka. Lebih dari itu, Ia adalah komoditas politik, dan karena itu tak boleh bergantung pada negara lain. Satu minggu saja tidak ada beras di Jepang, ekonomi negara itu bisa ambruk. Karena itu, petani Jepang diproteksi tarif yang sangat tinggi, dan di dalam negeri dimanjakan berbagai subsidi (Iwantono, Politik Beras: 2003).

Jadi apa yang ada di benak pemerintah kita? I have no idea.....

px
Kala rindu mengetuk
Dan berniat mampir di hati
Kukatakan padanya, “janganlah hari ini”

Saat rindu merajuk
Memohon untuk bersama
Kukatakan padanya, “aku sedang ingin sendiri”

Sebab bila kupenuhi
Hari-hariku kembali penuh
Dengan absurdnya pergulatan antara khayal dan sadar

Sebab bila kubuka pintu hati
Aku takut aku tak sanggup ditinggalkannya lagi

Biarlah aku berteman dengan kepasrahan
Biarkan aku bercumbu dengan keyakinan
Biarkan aku mendekap erat ketulusan
Tanpa harus pusing dengan balasan

Bukankah dengan ini aku bisa terus hidup
Bukankah dengan begini selalu bersemi harapan
Bukankah ketentraman lebih pasti ‘tuk selalu diraih
Tanpa harus pusing dengan kepedihan

Jika pun dia hadir kembali
Bukankah kepasrahan sedang menjadi temanku
Yang bisa mengubah segala rasa pedih melilit
Menjadi senyum nikmat melempang

Jika pun dia hadir kembali
Bukankah tak pernah kutinggalkan keyakinan
Yang selalu bisa membisikiku
Hingga tak ada kesepian asa

Jika pun dia datang kembali
Bukankah ada penawar ketulusan
Yang selalu erat kudekap
Hingga kelegaan seketika menjelma

Bila rindu mengetuk
Aku ingin itu yang terakhir kalinya
Hingga tak perlu aku bergulat dengan keraguan
Hingga tak perlu lagi aku menoleh ke belakang


px
210906/1726 (inspired by "y")

Saturday, September 16, 2006

"Yang penting bukan berapa kali aku gagal, tapi yang penting berapa kali aku bangkit dari kegagalan".(Abraham Lincoln)
"Kadang hati menganggap biasa untuk rasa manis, karena ia cenderung pada kenikmatan.Berbeda dengan pahit, rasa itu begitu cepat dominan buat lidah hati. Seolah tidak pernah ada rasa manis sebelum pahit, semuanya menjadi sangat pahit."(anonymous)

Thursday, September 14, 2006

Kemuliaan Orang Kafir

Ketegasan untuk ingkar kepada Allah mengandung keberanian, kejantanan, dan kejujuran. Bahkan tersisa kepadanya kemuliaan, dibanding orang yang mengakui Allah tapi mengkhianati nilai-Nya. Dibanding orang yang mulutnya mengucapkan peneguhan ketuhanan tapi tangannya mencuri. Dibanding orang yang beribadah kepada-Nya tapi menyakiti hati manusia. Dibanding orang yang tak segan membawa badannya bersujud kepada Allah tapi perilaku hidupnya tidak segan juga untuk membangun kebudayaan masyarakat yang memperhinakan kehormatan Allah. Emha Ainun Nadjib

Pembuka

Salam untuk semua...

Blog ini hadir sebagai ruang ekspresi yang lahir dari perasaan, pikiran, dan harapan saya, yang mudah-mudahan bisa bermetamorfosa menjadi ruang informasi, berbagi, dan memberi bagi yang lain. Semoga...

px