Saturday, October 14, 2006

Kenduri Cinta

What can I say…
Setelah sekian lama
Jumat malam kemarin
Akhirnya saya bertemu lagi dengan alunan berbagai instrumen musik khas Kiai Kanjeng. Campuran antara gamelan dan alat musik modern seperti gitar dan sebagainya.
Kerinduan yang terobati
Saya dapati kembali musik yang membawa saya terbang ke level “trans”.
Begitu menyayat
Begitu kena
Meski bising tak terkira
Tapi itu hanya di telinga
Tidak di hati
Di sini justru rasa kecil yang muncul
Kesadaran tingkat tinggi

What else can I say...
Di sini saya menemukan cara dan gaya beragama saya
Di Kenduri Cinta ini
Alunan ayat suci tidak asing bagi siapapun
Tidak bagi yang funky
Yang ngepop
Yang awam
Yang ngejreng
Yang sensual
Yang rambutnya dicat
Yang kupingnya ditindik
Atau hidungnya
Yang sopan
Yang cantik
Yang biasa
Yang bersih
Yang dekil
Yang alim
Yang santun
Yang liberal
Yang radikal
Yang tradisionalis
Yang modernis
Yang theis
Yang atheis (mungkin)
Ayat suci itu menjadi tidak canggung untuk dikumandangkan
Di sini surat Ar-Rahman seperti menjadi milik bersama
Begitu familiar...
Dan di terima...
Rahmat bagi semesta tidak hanya menjadi jargon, tapi mewujud

What can I say again,
Di Kenduri Cinta
Ada Idris Sardi dengan magic biolanya
Ada mbah Surip yang tidak sempat saya tonton karena terlambat
Ada Adi Masardi yang bekas jubir kepresidenan
Ada Egi Sudjana yang Islam formalis (dia menyebut dirinya Islam fungsionalis)
Ada ustad Wijoyanto yang biasa nongol di Trans TV
Ada Gus Nuril yang terkenal dengan pasukan berani matinya
Ada kyai Budi
Ada Jose Rizal dengan lantunan puisi-puisi
Dan tentu saja Cak Nun sebagai “supir” dari acara ini

Mereka juga menjadi biasa-biasa saja
Tidak menjadi “sangar” lagi Egi Sudjana dengan jargon-jargon fundamentalismenya, meski di sana dia berkoar-koar dengan jargon-jargon itu
Tidak menjadi “kejawen” lagi itu Idris Sardi yang selalu menisbatkan bakat, kapasitas, dan kemampuannya sebagai karunia dari Allah. Apa-apa menjadi: “Kuasa Allah,” dia intens berkata.
Tidak terlihat lagi keustadan Wijoyanto saat diminta memberi wejangan, malah banyolan (yang super konyol menurut saya) yang dia berikan. Semua tergelak mendengar banyolannya.
Tidak terlihat lagi kesan “sok jago” dari sosok Gus Nuril sebagai seorang yang pernah memimpin sepasukan yang berani mati demi Gus Dur, saat dia memberi taushiah-taushiah berartinya.
Tidak ada jarak dengan Adi Masardi
Kyai Budi pun yang terkesan ndeso malah menyajikan sesuatu yang kosmopolit.
Jose Rizal...., dia memang seorang penyair.
Adapun Cak Nun, tugasnya memang hanya sebagai supir.

Di Kenduri Cinta ini
Ada sholawatan
Ada musik punk
Ada Tomblok Ati (bukan Tombo Ati)
Ada dangdut
Ada “When You Tell Me That You Love Me”
Ada lagu “Tanah Air”
Ada “Es Lilin”
Ada wirid-wirid ala para sufi
Semuanya hadir
dan bisa diterima oleh semua


Di Kenduri Cinta ini
Ada gugatan
Ada sanggahan
Ada makian
Namun ada juga nasehat
Bimbingan
Lecutan dan kesadaran
Dan sikap tahu diri

Di Kenduri Cinta ini
Ada sebuah fenomena...
Pernahkah kau saksikan
Sebuah pegelaran, acara, show
Yang berlangsung mulai dari jam 8 malam sampai jam 3 pagi
Dengan penonton yang relatif tetap setia sampai akhir acara
Sementara tidak ada pungutan biaya apapun
Non stop
Di tempat ala kadarnya
Dengan setting suasana yang sederhana?

Saya tidak pernah menyaksikan sebelumnya.

Di Kenduri Cinta ini
Ada obrolan politik
Ada soal ekonomi, bencana
Ada spirit
Ada sastra
Ada tafsir teologi
Ada kearifan
Ada banyolan-banyolan yang menyelingi
Ada hasrat untuk bergerak
Dan yang pasti ada CINTA...
Entah kenapa
Aku begitu merasakannya

Orang-orang yang aku cintai
Orang-orang yang pernah aku cintai
Orang yang sedang kutunggu cintanya
Pihak-pihak yang mestinya paling aku cintai di atas segalanya
Hadir dalam rasa ini
Berkelebat dalam khayal
Menari-menari dalam nalar
Menggema dalam sadar

Finally, I can say...
Aku merasakan cinta malam itu
Sebenar-benar cinta...
Dan tak terdefinisikan!

px

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

ini puisi or curhat....
salut pak boz

1:39 PM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home