Impor Beras (Lagi)
sori kalo yang ini rada berat n serius..... :p
Ada Apa Dibalik (Politik) Impor Beras?
Pemerintah berencana melakukan impor beras lagi. Seperti biasa, dalih yang digunakan adalah stabilisasi harga dan pemenuhan stok beras di bulog yang tidak mencapai 1 juta ton – dalih yang oleh banyak kalangan disebut sebagai hal yang klise.
Padahal Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya di depan sidang paripurna DPD pada 23 Agustus lalu menyebutkan, tingkat pertumbuhan perekonomian pada semester pertama tahun 2006 sebesar 5% dipicu oleh peningkatan produksi tanaman pangan dan beras.
Sementara data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan bahwa produksi gabah kering giling (GKG) tahun ini mencapai 54,75 juta ton, yang berarti ada kenaikan dari tahun 2005 dan surplus (Suara Pembaruan, 30/08/06).
Bahkan hal ini dikemukakan sendiri oleh Menteri Pertanian Anton Apriantono, seperti diungkapkan oleh Tjahyo Kumolo salah satu fungsionaris PDIP di harian Republika bahwa produksi beras cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri hingga akhir tahun. Bahkan ada surplus sebesar 100.000 ton (Republika online, 13/9/06).
Satu dampak yang pasti dari kebijakan impor beras adalah turunnya harga beras –- dan ini yang menjadi tujuan pemerintah memang. Di satu sisi hal ini meringankan konsumen, namun di sisi lain kebijakan ini selalu merugikan petani. Turunnya harga beras mengakibatkan tidak tertutupinya biaya produksi petani. Dampak lain dari impor beras ini adalah masuknya beras ilegal dalam jumlah besar. Hal ini tentu saja semakin membuat harga beras lokal semakin kompetitif. Yang diuntungkan dari semua ini adalah mafia perberasan karena merekalah yang bisa memainkan harga. Sementara petani, lagi-lagi adalah pihak yang paling dirugikan.
Jika demikian, mengapa kebijakan ini kembali dikeluarkan oleh pemerintah?
Sesungguhnya dari tahun ke tahun, dari rejim ke rejim, kebijakan impor beras selalu terjadi. Sejak tahun 1988 Indonesia selalu menjadi negara pengimpor beras (Pembaruan Tani, Januari ’06). Bahkan tahun 2003 lalu Indonesia menjadi negara pengimpor beras nomor satu di dunia (Iwantono, Politik Beras: 2003).
Fakta bahwa kebijakan impor beras merugikan rakyat petani tidak bisa dibantah lagi. Jika dihadapkan situasi yang demikian pemerintah selalu berkelit dengan kesediaan pemerintah untuk membeli beras langsung dari petani melalui Bulog. Hal ini dimaksudkan agar petani tidak merugi. Namun demikian kenyataan di lapangan mengatakan lain. Peran Bulog untuk membeli beras petani ternyata tidak maksimal. Setelah Bulog berubah menjadi BUMN dengan ditandai keluarnya UU No. 19/2003 tentang BUMN, lembaga penampung beras nasional ini menjadi perusahaan yang berlogika untung rugi. Hal ini terlihat dari: pertama, rentang waktu yang diberikan untuk membeli beras petani sangat pendek yakni 12 hari; kedua, Bulog hanya berkonsentrasi di pulau Jawa saja padahal Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan beras masih masih banyak tersedia; Bulog sengaja memberikan syarat-syarat yang terlalu berat (Pembaruan Tani, Januari 2006).
Sejak terlibat dalam WTO, kebijakan sektor pertanian Indonesia selalu didikte oleh organisasi tersebut. Salah satu dari hal tersebut adalah pengaturan standar harga beras internasional. Harapannya agar beras sebagai konsumsi pokok yang banyak dikonsumsi masyarakat perkotaan dan masyarakat buruh bisa terus terjaga harganya dan penyediaannya, sehingga potensi dan iklim investasi di wilayah industri tidak terganggu akibat adanya pergolakan sosial. (Aditya, IMF: Alat Imperialisme!)
Entah apa yang ada di benak pemerintah kita. Namun yang pasti negera-negara lain seperti Jepang misalnya, amat serius menyikapi masalah makanan pokok ini. Saat ini harga beras di Jepang sekitar Rp 35 ribu-40 ribu per kilogram. Pemerintah Jepang bersedia membeli dari petani dengan harga setinggi itu. Padahal, kalau mereka belanja di pasar internasional, beras bisa diperoleh dengan harga kurang dari Rp 2.000 saja. Tapi Jepang tidak mau melakukan itu. Betapapun tinggi harganya, beras harus diproduksi sendiri di dalam negeri. Mereka memandang beras tidak sekadar masalah hitung-hitungan ekonomi belaka. Lebih dari itu, Ia adalah komoditas politik, dan karena itu tak boleh bergantung pada negara lain. Satu minggu saja tidak ada beras di Jepang, ekonomi negara itu bisa ambruk. Karena itu, petani Jepang diproteksi tarif yang sangat tinggi, dan di dalam negeri dimanjakan berbagai subsidi (Iwantono, Politik Beras: 2003).
Jadi apa yang ada di benak pemerintah kita? I have no idea.....
px
Ada Apa Dibalik (Politik) Impor Beras?
Pemerintah berencana melakukan impor beras lagi. Seperti biasa, dalih yang digunakan adalah stabilisasi harga dan pemenuhan stok beras di bulog yang tidak mencapai 1 juta ton – dalih yang oleh banyak kalangan disebut sebagai hal yang klise.
Padahal Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya di depan sidang paripurna DPD pada 23 Agustus lalu menyebutkan, tingkat pertumbuhan perekonomian pada semester pertama tahun 2006 sebesar 5% dipicu oleh peningkatan produksi tanaman pangan dan beras.
Sementara data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan bahwa produksi gabah kering giling (GKG) tahun ini mencapai 54,75 juta ton, yang berarti ada kenaikan dari tahun 2005 dan surplus (Suara Pembaruan, 30/08/06).
Bahkan hal ini dikemukakan sendiri oleh Menteri Pertanian Anton Apriantono, seperti diungkapkan oleh Tjahyo Kumolo salah satu fungsionaris PDIP di harian Republika bahwa produksi beras cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri hingga akhir tahun. Bahkan ada surplus sebesar 100.000 ton (Republika online, 13/9/06).
Satu dampak yang pasti dari kebijakan impor beras adalah turunnya harga beras –- dan ini yang menjadi tujuan pemerintah memang. Di satu sisi hal ini meringankan konsumen, namun di sisi lain kebijakan ini selalu merugikan petani. Turunnya harga beras mengakibatkan tidak tertutupinya biaya produksi petani. Dampak lain dari impor beras ini adalah masuknya beras ilegal dalam jumlah besar. Hal ini tentu saja semakin membuat harga beras lokal semakin kompetitif. Yang diuntungkan dari semua ini adalah mafia perberasan karena merekalah yang bisa memainkan harga. Sementara petani, lagi-lagi adalah pihak yang paling dirugikan.
Jika demikian, mengapa kebijakan ini kembali dikeluarkan oleh pemerintah?
Sesungguhnya dari tahun ke tahun, dari rejim ke rejim, kebijakan impor beras selalu terjadi. Sejak tahun 1988 Indonesia selalu menjadi negara pengimpor beras (Pembaruan Tani, Januari ’06). Bahkan tahun 2003 lalu Indonesia menjadi negara pengimpor beras nomor satu di dunia (Iwantono, Politik Beras: 2003).
Fakta bahwa kebijakan impor beras merugikan rakyat petani tidak bisa dibantah lagi. Jika dihadapkan situasi yang demikian pemerintah selalu berkelit dengan kesediaan pemerintah untuk membeli beras langsung dari petani melalui Bulog. Hal ini dimaksudkan agar petani tidak merugi. Namun demikian kenyataan di lapangan mengatakan lain. Peran Bulog untuk membeli beras petani ternyata tidak maksimal. Setelah Bulog berubah menjadi BUMN dengan ditandai keluarnya UU No. 19/2003 tentang BUMN, lembaga penampung beras nasional ini menjadi perusahaan yang berlogika untung rugi. Hal ini terlihat dari: pertama, rentang waktu yang diberikan untuk membeli beras petani sangat pendek yakni 12 hari; kedua, Bulog hanya berkonsentrasi di pulau Jawa saja padahal Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan beras masih masih banyak tersedia; Bulog sengaja memberikan syarat-syarat yang terlalu berat (Pembaruan Tani, Januari 2006).
Sejak terlibat dalam WTO, kebijakan sektor pertanian Indonesia selalu didikte oleh organisasi tersebut. Salah satu dari hal tersebut adalah pengaturan standar harga beras internasional. Harapannya agar beras sebagai konsumsi pokok yang banyak dikonsumsi masyarakat perkotaan dan masyarakat buruh bisa terus terjaga harganya dan penyediaannya, sehingga potensi dan iklim investasi di wilayah industri tidak terganggu akibat adanya pergolakan sosial. (Aditya, IMF: Alat Imperialisme!)
Entah apa yang ada di benak pemerintah kita. Namun yang pasti negera-negara lain seperti Jepang misalnya, amat serius menyikapi masalah makanan pokok ini. Saat ini harga beras di Jepang sekitar Rp 35 ribu-40 ribu per kilogram. Pemerintah Jepang bersedia membeli dari petani dengan harga setinggi itu. Padahal, kalau mereka belanja di pasar internasional, beras bisa diperoleh dengan harga kurang dari Rp 2.000 saja. Tapi Jepang tidak mau melakukan itu. Betapapun tinggi harganya, beras harus diproduksi sendiri di dalam negeri. Mereka memandang beras tidak sekadar masalah hitung-hitungan ekonomi belaka. Lebih dari itu, Ia adalah komoditas politik, dan karena itu tak boleh bergantung pada negara lain. Satu minggu saja tidak ada beras di Jepang, ekonomi negara itu bisa ambruk. Karena itu, petani Jepang diproteksi tarif yang sangat tinggi, dan di dalam negeri dimanjakan berbagai subsidi (Iwantono, Politik Beras: 2003).
Jadi apa yang ada di benak pemerintah kita? I have no idea.....
px
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home