Monday, September 25, 2006

Taraweh

Akhirnya kutemukan kembali...

Dua hari pertama puasa saya tidak sempat sembahyang “khas” bulan ramadan: taraweh. Dua hari itu, selain badan yang kecapean setelah munggahan ke kampung halaman, juga karena ada beberapa hal yang harus ditunaikan bertepatan dengan waktu tarawehan. Alhasil, bolonglah dua hari pertama itu.

Tapi pas dapet tarawehan pertama kali di bulan ini, saya seperti balik ke kampung halaman jaman saya masih SD dulu. “Gaya” tarawehan yang saya ikuti di kota “semegah” Tebet ini ternyata masih menyimpan kearifan kampung halaman. Maklum, selama di Bandung dulu, kalo pun taraweh, -- biasanya sih jarang :p -- gayanya (maaf) “sunyi senyap”.

Karenanya ikut sembahyang tarawih tadi, selain seperti diajak “napak tilas”, ada keharuan tersendiri menjalaninya. Kembali saya mendapati suara (sebut saja) bilal mengumandangkan puji-pujian tiap dua rakaat selesai. Setelah itu suara jamaah bergemuruh menjawabnya. Meski lafal-lafalnya berbeda dengan lafal di kampung, tapi intinya tetap sama: memuji asma-Nya. Ada yang berbeda merasuk sukma saat suara-suara itu bergemuruh. Kesyahduan seperti menyelimuti seluruh alam keagamaan saya. Oleh karenanya, saya kok tidak sependapat dengan saudara-saudara saya dari kalangan yang biasa disebut “kalangan modernis” yang menyebut hal seindah ini sebagai bid’ah – hanya karena tidak dicontohkan langsung oleh Nabi. Saya selalu merasa dan yakin hal semacam ini menjadi bagian dari kearifan para ‘alim terdahulu dalam syiar agama, yang selalu tetap berpegang pada sumber rujukan primer agama, tanpa kaku memposisikan di mana dia berada.

Namun demikian bukan saya bermaksud menyepelekan yang namanya bid’ah. Hanya saja, saya bingung mengapa keindahan itu harus disebut bid’ah.
Wallahu’alam bishshowab...

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home