Nice journey

12:52 Friday 17 November 2006
Hari ini, sepertinya hari peruntunganku. Meski bangun kesiangan tadi. Berangkat menuju tempat kerja, aku dioper dari angkot pertamaku. Tak mengapalah, mungkin ada wasilah rejeki yang lebih besar dari pada sekadar dari saya buat sopir itu. Tapi di angkot yang kemudian mengantar saya, saya seperti mendapat anugerah. Seraut wajah, sebongkah dagu, sepasang bibir yang lembab tanpa terlihat warna lipstiknya, seonggok hidung; semuanya terbalut langsatnya kulit yang tak terlihat dipermak. Begitu enak dipandang. Tak membuat bosan pemandangnya. Meski hanya dari sebilah spion tengah sang sopir yang darinya pun hanya setengah wajah itu yang terlihat. Tapi, mungkin justru itulah yang membuat semua terlihat indah, ketimbang jika terlihat seluruh rautnya. Meskipun memang indah raut wajahnya. Hanya saja, sudut pandang yang berbeda membuat keindahan yang hadirpun berbeda pula. Begitu melekat di hati, sampai-sampai secara khusus kupanjatkan doa tentangnya, entah siapa dia. Kupanjatkan doa: jikalah boleh, ingin kunikamti wajahnya kembali di lain waktu dengan jenis keindahan seperti tadi, entah di mana Engkau akan pertemukan kami. Sebab bisa saja Engkau perlihatkan lagi dia kepadaku, namun tanpa hadirnya keindahan seperti ketika aku melihatnya di angkot waktu itu dari sebilah kesederhanaan kaca spion. Aku hanya ingin menikmati keindahan itu, lagi...
Dia duduk persis di sebelah kiriku. Waktu itu pukul 11.30
Setelah semua itu berlalu, saya hadir dalam sebuah jumatan. Sang khatib yang terlihat seperti seorang tani kampung, ternyata begitu fasih dalam khutbahnya. Jika fasih berbahasa arab itu biasa. Tapi fasih dalam mengorganisasikan materi, itu yang membuatnya berbeda. Belum lagi kemampuannya menyentuh “rasa” dari para jamaah dengan kemampuannya bertutur, itu yang membuat nilai lebihnya bertambah. Dia membawakan sesuatu yang berkaitan erat dengan kedatangan Bush ke Indonesia, tanpa menyebut nama Bush itu sendiri. Tapi hebatnya, begitu kena apa yang dia sampaikan dengan kemampuan nalar jamaah – saya kira. Dalam alunan ayat-ayat yang dibawakannya dalam shalat, tersirat kealimannya. Dan itu menambah kenikmatan shalat jumat siang tadi. Dan akhirnya, gemuruh doa menambah keyakinan dalam diri. Shalawat yang mengakhiri “sakramen” peribadatan itu menambah semarak kesyahduan, semakin menjelma dalam hati. Lengkaplah sudah, apalagi...?
Selepas itu, eprut eh perut yang lapar ini mengajakku untuk mampir di kedai makan kesukaanku: RM Padang. Berniat untuk ngirit aku hanya mengambil telor dadar sebagai lauk. Tapi rasa haus dan hawa yang panas membuatku tak tahan godaan dari segelas air mineral dingin. Aku ambillah benda itu satu. Kemudian, bersama lezatnya bumbu masakan yang agak pedas itu, rasanya agak kuranglah jika tidak ada yang menjadi “lawannya”. Akupun mendapati kerupuk kulit kesukaanku yang kemudian aku ambil dari tumpukannya. Karena lapar yang teramat sangat, aku juga menambah nasi yang memang sudah disediakan untukku. Dalam pikirku aku berkata, “yah 8-9 ribuanlah. Ga jadi deh ngiritnya... ga papalah. Abis enak siy... :p. Sejurus kemudian aku sudah di depan kasir. Aku katakan apa-apa saja yang sudah aku makan. Dan, sambil menyembunyikan ketidakmenyangkaanku aku berikan selembar uang 10 ribuan yang dari itu, dia kembalikan 4 lembar urang ribuan. Keluar dari kedai makan itu aku tersenyum kepada terik di siang hari itu…
Wow. Nice journey...
px
1 Comments:
kadang kita terlalu sibuk, sehingga gak sempat untuk nikmatin apa yang kita lakukan. Beruntunglah opik, masih bisa menghargai dan mensyukuri keindahan2 terkecil yang seringkali luput :)
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home